Kamis, 20 Maret 2014

Reformasi Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern


Reformasi Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern
(Studi Hukum Waris Di Somalia)
Oleh: M Farid Naya



Pendahuluan
Hukum Kewarisan Islam[1] secara mendasar merupakan ekspresi langsung dari teks-teks suci sebagaimana pula yang disepakati keberadaannya. Ia manifestasi dari rangkain teks dokumen suci dan telah memperoleh prioritas yang tinggi dalam keterlibatannya sebagai fenomena prinsip yang fundamental dalam ajaran Islam.
Suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa kelahiran hukum kewarisan Islam dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkrit dan realistis disamping bukan untuk sekedar merespon problem hukum di zaman pemunculannya tetapi lebih jauh adalah demi mengisi kebutuhan hukum Islam sebagai konstruksi ajaran. Sisi ini juga  dapat dibuktikan dengan refleksinya mampu memberikan paparan ide dasar sistem kewarisan Islam yang sesungguhnya tanpa adanya pelbagai interpretasi.
Berangkat dari sinilah kelompok "trdisionalis" Islam tetap menolak adanya berbagai ide pembaharuan terhadap hukum waris Islam. Lebih jauh dalam berbagai tebaran kitab-kitab klasik ia disebut dengan istilah "faroidl" yang merupakan bentuk jamak dari kata "Faridloh"  yakni bagian-bagian yang telah ditentukan.[2] Pengertian ditentukan dimaksud adalah sesuai dengan apa yang yang telah ditetapkan  wahyu sebagai dokumen suci. Bila ia demikian, selanjutnya akan dipahami sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Ia dianggap sebagai compulsory law- hukum yang berlaku secara mutlak. Khazanah pemikiran klasik ini direfleksikan dari rangkaian pemahaman terhadap teks-teks suci mengenai hukum waris adalah qath'i baik dari segi wurudnya maupun dalalahnya.
Walaupun demikan, bagi sebagian kalangan, hukum waris dalam hal-hal tertentu dianggap tidak selamanya prinsipil. Artinya ia bisa saja ditafsirkan dan direkonstruksi, sesuai dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk dipertimbangkan.
Dalam kaitannya dengan upaya merekonstruksi, walaupun bukan negara yang pertama melakukannya[3], apa yang dilakukan Somalia selayaknya mendapat pujian dan aplous dari berbagai pihak. Mengapa? Hal ini karena dalam penerapan hukum keluarga ataupun hukum personal sebagaimana yang terjadi negara-negara Islam[4], Somalia  selain merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, juga termasuk negara Islam yang  menerapkan hukum keluarga Islam, dengan mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Terutama materi waris dalam hukum keluarga Somalia telah mengalami perubahan besar dari sistem hukum waris Islam yang telah dirumuskan oleh mazhab-mazhab fiqh dan berbeda dari sistem hukum waris di negara muslim lainnya. Yaitu    hukum waris Somalia memberikan hak dan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan, sehingga terjadi perubahan pembagian warisan di semua tingkatan ahli waris, baik ahli waris tingkat pertama, kedua maupun ketiga.
Berdasarkan paparan diatas, maka tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang bagaimana hukum waris di Somalia, mengapa terjadi perubahan yang cukup besar dari konsep kewarisan Islam secara umum, dan unsur-unsur apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut serta metode apa saja yang digunakannya.
Oleh karena itu, penulis akan mengawali bahasan dengan mengetengahkan gambaran singkat tentang konsep hukum waris Islam. Bahasan ini perlu, agar dapat diketahui sejauh mana perubahan hukum waris di Somalia dengan kosep hukum waris Islam pada umumnya. Berikutnya bahasan tentang negara Somalia dan juga  latar belakang proses pengkodifikasian hukum keluarga Somalia. Hal ini penting karena sudah menjadi rahasia umum bahwa sebuah gerakan yang sifatnya mereform tidak akan pernah lepas dari iklim dan perubahan cuaca saat itu, serta yang tidak ketinggalan juga adalah metode-metode apa saja yang di gunakan dalam proses perubahan dalam hukum waris Somalia tersebut. Kemudia dilanjutkan dengan menampilkan sekilas Undang-undang waris Somalia yang menurut anggapan penulis merupakan sesuatu yang baru dan merupakan hasil reformasi yang layak untuk diketahui khalayak. Selanjutnya diakhiri dengan kesimpulan sebagai benang merah dari makalah ini.

Konsep Waris dalam Fiqh Klasik
Warisan secara bahasa merupakan bentuk masdar  dari kata al-irts, mirats yang berakar dari kata waratsa-yaritsu-irts-mirats, yang memiliki beberapa arti; pertama, mengganti (QS. Al-Naml, 27:16), artinya Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Dawud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya. Kedua, memberi (QS. Al-Zumar, 39:74), dan ketiga, mewarisi (QS. Maryam, 19:6).[5] Sehingga warisan secara bahasa dapat diartikan sebagai peralihan sesuatu dari seseorang kepada orang lain  atau dari kaum satu kepada kaum lain secara umum, baik berupa harta, ilmu, kehormatan dan sebagainya.
Sedangkan menurut pengertian syara', warisan berarti peralihan harta dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya  yang hidup baik yang ditinggalkan berupa harta benda, ataupun hak dari hak-hak syar'i.[6]
Adapun ayat-ayat yang menjadi dasar hukum kewarisan dan pembagiannya diantaranya adalah surat an-nisa' ayat 11,12 dan 176. Sebab turunnya ayat 11 dan 12 tersebut diatas, menurut At-Tabari ada beberapa riwayat, diantaranya yaitu bahwa pengaduan isteri Sa'ad kepada Rasul karena saudara Sa'ad telah mengambil semua warisan tanpa menyisakan sedikitpun untuk anak perempuan. Riwayat yang lain mengatakan bahwa ayat itu turun untuk membatalkan praktik-praktik jahiliyah yang hanya memberikan warisan kepada lak-laki yang sanggup pergi berperang. At-Tabari menukilkan sebuah riwayat tentang keheranan beberapa sahabat, kenapa orang perempuan dan anak-anak yang tidak ikut perang diberi bagian dari harta warisan bahkan ada yang berharap agar Rasul merubah ketetapan tersebut dan praktik jahiliyah diberlakukan kembali. Ada pula yang  mengatakan turun ayat itu untuk membatalkan praktik yang dilakukan Nabi saw di awal Islam yaitu kewarisan didasarkan kepada pertalian darah, pengangkatan anak, dan al-Half (sumpah setia). Hampir sama dengan ini, ada riwayat yang mengatakan turun ayat ini untuk membatalkan praktik pengalihan harta kepada anak melalui kewarisan dan pemberian hak kepada orang tua melalui wasiat.[7] Dalam tafsir Al-Manar juga disebutkan sebab turunnya ayat tersebut diantaranya adalah riwayat tentang kedatangan isteri Sa'ad bin Rabi' kepada Nabi [8], sebagaimana penjelasan At-Tabari diatas.
At-Tabari juga mengatakan bahwa menurut pendapat Abu Bakar as, ayat 11 turun untuk mengatur hak kewarisan anak dan orang tua, ayat 12 tentang suami,istri dan saudara seibu, dan ayat 176 tentang saudara sekandung (seayah).[9]
Berdasarkan ayat waris tersebut diatas, biasanya para ulama mengelompokan ahli waris menjadi: Ahli waris tingkat pertama yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan semua anak dari orang yang meninggal, ahli waris tingkat dua yaitu semua kakek dan nenek, diluar ayah dan ibu dan seterusnya keatas, dan semua anak dari kedua orang tua (saudara kandung,seayah, seibu), serta ahli waris tingkat ketiga yaitu paman dan bibi dari pihak ayah serta anak-anaknya, paman dan bibi dari pihak ibu beserta anak-anaknya.[10]    
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'I, Hanbali, Zaidi, dan Zahiri, membagi ahli waris menjadi dzawi al-furudl (ahli waris yang ditetapkan dalam nash),ashobah (ahli waris yang  mendapatkan sisa harta warisan setelah dibagikan kepada dzawi al-furudl), dan dzawi al-arham (ahli waris yang bagiannya belum ditetapkan dalam nash).[11] Jumhur sahabat yang kemudian diikuti jumhur ulama menetapkan anak perempuan derajat pertama sebagai dzawi al-furudl, sedang anak laki-laki dan perempuan derajat kedua menjadi ashabah.[12] Adapun berdasarkan ayat 11 an-nisa' maka para ulama sepakat apabila ada anak, maka masing-masing orang tua memperoleh seperenam sebagai dzawi al-furudl. Kalau ahli waris hanya mereka berdua, maka ibu mendapat sepertiga dan ayah mendapat ahsobah.[13] Sedangkan dalam hal saudara, para ulama bersepakat untuk membedakan saudara kepada yang kandung, seayah, seibu. Jumhur ulama berpendapat bahwa saudara kandung lebih kuat dari pada  yang seayah,  sedang saudara seibu berbeda kedudukannya dengan saudara sekandung dan seayah, karena dia hanya menjadi dzawi al-frudl dan tidak dapat menjadi ashobah.[14]
Berdasarkan ayat waris ulama jua berbeda pendapat bahwa bagian yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an (furudl al-muqaddarah) yaitu seperdua, sepertiga, dua pertiga, seperempat, seperenam dan seperdelapan.[15]
Menurut Mazhab empat[16], bagian seperdua adalah bagi anak perempuan tunggal jika tidak ada anak laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan tunggal yang sekandung atau seayah jika tidak ada saudara laki-laki sekandung atau seayah, dan suami jika istri tidak mempunyai anak.
Bagian seperempat diberikan kepada suami jika istri mempunyai anak dan kepada istri jika suami tidak mempunyai anak. Bagian seperdelapan diberikan kepada istri jika suami mempunyai anak.
Bagian dua pertiga diberikan kepada dua orang anak perempuan atau lebih jika anak laki-laki tidak ada, dan kepada dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung atau seayah jika tidak ada saudara laki-laki sekandung atau seayah.
Bagian sepertiga diberikan kepada ibu jika tidak ada anak laki-laki dan saudara si mayit, juga kepada dua atau lebih saudara perempuan atau laki-laki dari jalur ibu. Bagian seperenam diberikan kepada ayah bila ada anak si mayit, ibu jika ada anak laki-laki atau saudara si mayit, kepada saudara laki-laki atau perempuan si mayit yang seibu jika hanya seorang.
Ahli waris yang menerima ashobah (sisa harta peninggalan) adalah ahli waris dari jalur laki-laki yaitu anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, ayah, kakek dari pihak ayah ke atas, saudara sekandung, saudara seayah dan sebagainya. Dalam hal ashobah bil ghoir yaitu jika ada seorang anak perempuan atau lebih, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, bersama-bersama dengan keberadaan ahli waris laki-laki (anak laki-laki atau saudara laki-laki), bagian perempuan separuh dari laki-laki.
Dalam ahli waris tingkat pertama terutama tentang anak dinyatakan dalam kalimat pertama bahwa anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan. Hal ini merupakan solusi bagi segala kombinasi anak laki-laki dan anak perempuan. Misalnya jika almarhum meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka bagian anak laki-laki dua pertiga dan perempuan sepertiga.[17] Hal ini sebagaimana yang dirumuskan oleh para fuqaha dalam ashobah bil ghoir. Dalam kalimat kedua baru diterangkan bagian anak perempuan jika tidak ada anak laki-laki.[18]

Sekilas tentang Negara Somalia
Republika Demokrasi Somalia atau biasa disebut Somalia merupakan daerah pantai di ujung timur laut Afrika. Negara ini berbatasan dengan teluk Aden (utara), Samudra Hindia (timur dan selatan), serta Kenya, Ethiophia dan Djiobuoti (barat). Secara umum iklim Somalia panas, tanahnya tandus sepanjang tahun, kecuali di lembah-lembah sungai yang airnya tidak kering sepanjang tahun. Sumber penghidupan utamanya berasal dari hasil pertanian terutama cengkeh dan ternak serta  hasil ekspor garam, kulit, kapas, mutiara dan indung mutiara.[19]
Manurut sejarah klasik Somalia, diyakini bahwa nenek moyang Somalia adalah bangsa Arab dari suku Quraisy yang datang ke Afrika melintasi teluk Aden pada abad ke-7 Masehi. Diantara mereka yang terkenal adalah Aqil ibn Abu Thalib, salah seorang pelayan Nabi Muhammad. Kemudian mendirikan kesultanan Islam di Zeila dan Mogadiscio. Inilah awal mula terbentuknya bangsa Somalia, yang namanya (somalia) berasal dari mayoritas suku bangsa yang mendiami daerah tersebut.[20]
Sejarah Modern Somalia bertitik tolak dari kolonisasi Inggris dan Italia pada pertengahan tahun 1880-an. Zeila, Berbera dan daerah-daerah disekitarnya diperintah oleh Inggris sebagai Inggris Somalian dari tahun 1880-an sampai tahun 1960. Jauh keselatan di sepanjang garis pantai dari tanjung Guardatul sampai ke Kenya, terdapat suatu bentangan tanah yang menjadi koloni Italia,  yakni Italia Somalian. Selama perang dunia II dan tidak lama sesudahnya, negeri ini diduduki Inggris. Setelah perang selesai koloni tersebut menjadi wilayah peralihan PBB yang diperintah oleh Italia yang ikut membantu mempersiapkan kemerdekaannya. Dalam masa itu bangsa Somalia yang tinggal di Somalian Inggris mulai memperjuangkan kemerdekaan. Mereka berhasil mewujudkannya pada bulan juli 1960. Pada bulan Juli itu juga, ketika wilayah bagian selatan memperoleh kemerdekaannya, kedua negara tersebut bergabung membentuk Republik Somalia. Pada bulan September 1960 negara itu diterima menjadi anggota PBB.[21]
Republik Somalia merupakan negara demokrasi yang menjalankan sebuah sistem parlementer multi partai antara 1960 hingga 1969. setelah terjadi pembunuhan atas presidennya, Sayyid Muhamed Abdille Hasan (Muhammad Ibn Abdullah Hasan), angkatan bersenjata atau militer yaitu Jenderal Mohammad Siyad Barre mengambil alih tampuk pemerintahan dan mengumumkan sosialisme ilmiah (scientific sosialism) sebagai idiologi negara.[22] Tulisan latin dijadikan  tulisan resmi negara Somalia. Sistem militer dictator yang diadopsi dari soviet diberlakukan secara represif terutama terhadap agama.
Pada tahun 1975 Barre mengeksekusi para pemimpin agama karena protes damai yang mereka lakuka terhadap pemberlakuan hukum keluarga dan perkawinan yang baru, dianggap menyimpang dari peraturan Islam. Kemudian negara mengatur maslah ibadah sholat, puasa, pakaian keagamaan dan sebagainya. Para pelajar yang memakai pakaian muslim (jilbab) ditangkap dan dipenjarakan. Pada tahun 1989 sampai tahun 1990, tentara Barre membantai ratusan pemimpin agama dan para pengikutnya. Dibandingkan dengan periode kediktatoran Barre, seakan Islam lebih aman dibawah pemerintahan kolonialisme Eropa.[23]
Pada tanggal 15 Mei 1990 ratusan pemimpin politik dan para pegawai membuat isu yaitu sebuah manifesto yang menuntut Barre untuk meletakkan jabatannya. Para pemimpin agama juga mengajukan tuntutan yang disebut "Seruan Islam pada tanggal 7 Oktober 1990. Seruan tersebut menerima demokrasi parlementer secara umum bahkan menuntut adanya institusi syura Islam. Barre jatuh pada Januari 1991 yang diikuti dengan terjadinya chaos, perang civil, kejahatan-kejahatan dan sebagainya yang membawa pendudukan PBB dibawah pimpinan Amerika di Somalia pada Desember 1992.
Berdasarkan sensus tahun 1980, penduduk Somalia berjumlah 6.248.000, dengan penduduk muslim hampir mencapai 100 %, disamping warga Inggris, itali dan kristen yang tidak mencapai 1 %. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Somalia dan bahasa Arab. Muslim somalia mayoritas adalah Sunni yaitu penganut mazhab Syafi'I. Karena loyalitas mereka terhadap Islam, maka mereka masih membedakan tetangga mereka yang  beragama kristen, ataupun yang masih setia menganut kepercayaan asli Afrika.[24] Adapun Islam oleh pemerintah Somalia dideklarasikan sebagai agama resmi pada tahun 1979.

Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga Somalia
Pada masa kolonial, di daerah Somalia berlaku hukum Inggris dari abad 19-20. Inggris memberlakukan Peradilan Adat, Ordonansi perkawinan tahun 11928 dan Ordonansi Peradilan Qadi tahun 1937. Kemudian dikeluarkan Ordonansi Peradilan Rendah tahun 1944 yang mencabut Ordonansi tahun 1973, yang membatasi jurisdiksi Peradilan Qadi hanya dalam materi status persoanal. Sedangkan di bawah kekuasaan Itali yaitu di daerah Somalia selatan, masih mengembangkan sistem Peradilan Qadi yang memiliki jurisdiksi perkara perdata (civil) dan pidana ringan.
Setelah masa kemerdekaan yaitu tahun 1960 Somalia yang mempunyai empat tradisi hukum yang berbeda yaitu Common Law Inggris, hukum Italia, hukum Islam (syari'ah) dan hukum adat Somalia, berusaha menjadikan warisan hukum yang berbeda-beda tersebut menjadi satu sistem. Oleh karena itu dilakukan penyeragaman kodifikasi hukum pidana dan acara pidana serta dilakukan regulasi terhadap organisasi peradilan, dengan mengadopsi sistem hukum Italia yang berdasarkan kepada penerapan putusan peradilan (present)[25] dan interpretasi hukum kodifikasi, serta menerapkan  Common Law Inggris dan doktrin equety[26], dalam masalah-masalah yang tidak diatur dalam legislasi. Hukum Islam yang berlaku hanya terbatas pada perkara perkawinan, perceraian, perselisihan keluarga dan warisan. Hukum adat Somalia diterapkan secara opsional dalam beberapa perkara yaitu pertanian, air hak penanaman, dan pembayaran diyat.[27]
Debat mengenai perlunya pembentukan kembali hukum keluarga Somalia yang sesuai dengan kebijakan-kebijakan partai politik sosialis baru di tanggapi oleh negara tahun 1972. Sejak itulah pemerintah melalui Dewan Komisi mempersiapkan draft mengenai hukum keluaga yang baru.
Dengan beberapa perubahan yang signifikan terhadap perundang-undangan yang dibuat oleh partai sosialis baru, draft undang-undang keluarga baru selesai  dibuat dan diundangkan pada tahun 1975, dengan nama hukum keluarga Somalia (Family Code of Somalia). Para Perancang undang-undang tersebut diketuai oleh Abdi Salim Syaikh  Hussain, Menteri Sekertaris Negara Urusan Keadilan dan Agama, Pemerinah Somalia dan Presiden Siyad Barre.[28]Alasan pembentukan dan pengundangan ini,menurut mereka adalah untuk menciptakan masyarakat yang sehat.
Adapun tujuan utama dari pembentukan dan pengundangan undang-undang tersebut adalah untuk menghapus kekolotan atau kekakuan hukum adat yang dipandang bertentangan dengan kebijakan pemerintahan baru Barre.[29] Ia kemudian membatasi pengaruh klan dalam penerapan hukum dan sanksi tradisional (adat) dan menghapuskan klan-klan tradisional serta menghapus hak klan dalam hal penguasaan tanah, sumber air dan hak penanaman.[30]
Undang-undang hukum keluarga 1975 tersebut terdiri dari 173 pasal yaitu tentang:
1.        Perkawinan dan perceraian; meliputi dasar perkawinan, usia perkawinan, pelarangan perkawinan, perwalian nikah, pembatalan perkawinan, mahar, nafkah,  hidup bersama, talaq, perceraian di pengadilan, penetapan kematian dan iddah.
2.        Anak dan nafkah, meliputi peran bapak, peran ibu, tanggungjawab bapak, pengasuhan anak, nafkah dan pemibiayaan terhadap anak..
3.        Perwalian, meliputi perwalian itu sendiri, pengawasan dan perwakilan wali, pengajaran dan perwakilan, perlindungan terhadap orang yang tidak cakap hukum, orang yang cacat, kematian/kehilangan personalitas, dan adopsi.
4.        Kewarisan, meliputi; waris dan syara-syaratnya,ditolak dan diterimanya warisan, ahli waris dan harta-harta yang diwariskan, prinsip-prinsip umum kewarisan, bagian-bagian waris, halangan kewarian, dan ketetapan-ketetapan khusus.
Di samping peraturan tersebut, dinyatakan bahwa peraturan yang belum tercantum dalam perundangan tersebut akan didasarkan kepada: 1)pendapat dominan dari mazhab syafi'i , dan 2) prinsip-prinsip umum hukum Islam dan keadilan sosial. [31]

Sistem Peradilan Somalia
Konstitusi tahun 1961 telah menetapkan suatu univikasi peradilan yang indevenden dari pihak eksekutif dan legislatif. Pada tahun 1962 dilakukan penyatuan pengadilan Somalia utara dan selatan dengan pembagian empat sistem pengadilan yaitu pengadilan tingkat tinggi, pengadilan tingkat banding, pengadilan regional dan pengadilan distrik. Pengadilan-pengadilan syari'ah (qadi) tidak diberlakukan walaupun dalam memutuskan perkara hakim mendasarkan  kepada syari'ah sebagai pertimbangan.
Peradilan tingkat paling rendah adalah pengadilan distrik (terdiri dari 84 distrik) yang masing-masing dibagi menjadi divisi pidana dan perdata. Divisi pidana menangani masalah kriminal dan hukumnya, sedangkan divisi perdata mempunyai jurisdiksi tentang perkara gugatan -sekitar 3000 Silling Somalia-dengan penerapan syari'ah (hukum Islam) dan hukum adat.
Pengadilan regional (8 regional), masing-masing mempunyai tiga divisi yaitu divisi pidana dan perdata yang menangani kasus-kasus besar, dan divisi yang menangani kasus perburuhan. Adapun pengadilan tingkat banding ada dua yaitu  bagian selatan yang bertempat di Mogadishu dan bagian utara bertempat di Hargeysa. Pengadilan tingkat banding mempunyai dua divisi yaitu divisi biasa yang menangani banding dari putusan pengadilan distrik dan banding putusan perkara biasa pengadilan regional, serta assize division hanya menangani banding dari pengadilan assize regional. Pengadilan tingkat tinggi berkedudukan di Mogodishu, mempunyai otoritas tertinggi dalam penyeragaman interpretasi terhadap hukum. Pengadilan ini menangani banding dari putusan pengadilan tingkat di bawahnya.
Rezim barre tidak banyak merubah struktur sistem pengadilan yang telah ada, namun mereka menambahkan pengadilan keamanan nasional (National Security Courts) yang langsung dibawah kontrol pihak eksekutif.[32]

Materi Hukum Waris Somalia
Materi waris dalam hukum keluarga tahun 1975 mengalami perubahan yang drastis -terutama dalam hal pembagian waris- dari sistem kewarisan Islam secara umum maupun mazhab yang mereka anut. Hal tersebut nampak dalam hal pemberian hak waris yang sama antara laki-laki dan perempuan. [33] Diantara pasal-pasal yang mengandung materi waris dalam hukum keluarga tahun 1975 adalah:
1.    Pasal 158: Untuk menyesuaikan prinsip-prinsip Piagam Revolusi pertama dan kedua, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam warisan.
2.    Pasal 159: Ahli waris yang mendapatkan warisan adalah: pasangan yang masih hidup, anak-anak, cucu dengan jenis kelamin apapun, ayah, kakek, ibu, nenek, saudara laki-laki dan perempuan sekandung, seayah dan seibu.
3.    Pasal 160 (1): pasangan yang masih hidup akan mendapat setengah dari harta peninggalan jika tidak ada anak atau cucu. Jika ada anak atau cucu, maka akan mendapatkan seperempat dari harta peninggalan, jika ada lebih dari satu janda, maka bagian setengah, dan sisanya akan dibagi kepada orang tua dengan sama rata.[34]
4.    Pasal 161: Jika yang meninggal hanya mempunyai seorang anak laki-laki atau perempuan, maka dia akan mendapat seluruh harta peninggalan. Jika ada dua atau lebih anak laki-laki atau perempuan, maka harta dibagi diantara mereka sama rata tanpa melihat jenis kelamin. Jika tidak ada anak melainkan ada cucu baik laki-laki atau perempuan, harta akan dibagi diantara mereka dengan bagian yang sama.[35]
5.    Pasal 162: Jika yang meninggal hanya mempunyai bapak, maka ia akan mendapatkan seluruh harta peninggalan. Jika terdapat juga anak atau cucu, bapak mendapat seperenam dan sisanya akan dibagi sama rata kepada anak-anak atau cucu. Kakek dapat mewarisi jika bapak tidak ada atau menempati kedudukan bapak.
6.    Pasal 163: Jika orang yang meningal hanya mempunyai ibu maka dia akan mendapatkan seluruh harta peninggalan. Jika ada juga anak atau cucu mak ibu akan mendapat seperenam dan anak-anak atau cucu akan mendapatkan bagian sama rata dari sisa harta peninggalan. Nenek akan mendapat warisan dengan menempati kedudukan ibu.[36]
7.    Pasal 164: Jika yang meninggal hanya mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan, dia akan medapat seluruh harta warisan. Jika ada dua atau lebih saudara laki-laki atau perempuan, maka harta peninggalan akan diagi diantara mereka dengan sama rata. Jika terdapat juga kakek atau nenek, maka mereka mendapat seperenam dari harta peninggalan dan sisanya dibagi sama rata kepada saudara baik laki-laki atau perempuan.[37]
8.    Pasal 167 ayah dan ibu akan menghijab kakek atau nenek dengan jalur ayah dan ibu.
9.    Pasal 168: Saudara laki-laki atau perempuan akan terhijab oleh ayah, ibu, dan anak-anak atau cucu.
10.     Pasal 169: Anak-anak akan menghijab  cucu, dan anak atau cucu akan mengurangi bagian dari pasangan, ayah, atau kakek, dan ibu atau nenek.

Reformasi Materi Hukum Kewarisan dalam Hukum Keluarga Somalia
Mayoritas masyarakat Somalia menganut mazhab Syafi'i, yang nampak dalam penyusunan hukum personal dan hukum keluarganya.[38] Disamping itu terdapat unsur-unsur lain yang mempengaruhi pembentukan hukum personal Somalia. Hal ini nampak dalam hukum Islam yang diterapkan terutama hukum waris.
Kelompok Sunni tradisonal ataupun penganut Syafi'i tradisional sebagai mayoritas di sana merupakan kelompok yang wadaad[39] -dalam masyarakat adat- yang banyak meninggalkan kancah perpolitikan negara termasuk politik hukumnya. Sementara pemegang kekuasaan negara adalah kelompok Islam modernis yang cenderung kepada nasionalis dan bahkan sosialis, terutama masa pemerintahan Barre yang mengadakan reformasi hukum personal Somalia. Oleh karena itu dalam penyusunan hukum personal (keluarga) baru tahun 1975, banyak dimasukan ide-ide pemegang kekuasaan negara sebagai institusi yang berwenang dalam melakukan politik hukum, sehingga terjadi perubahan-perubahan dari konsep fiqh mazhab tradisional yang dianut oleh mayoritas di Negara ini..
Somalia termasuk negara yang menetapkan hukum keluarga Islam dengan mengadakan pembaharuan-pembaharuan baik dari segi prosedural (hukum acara) dan struktur peradilannnya maupun materi hukumnya. Reformasi hukum Somalia tersebut menggunakan metode regulatory yaitu pengaturan dan penertiban administrasi, prosedur peradilan dan struktur pengadilan. Unsur regulatori tersebut diadopsi dari sistem hukum Barat-terutama Anglo–saxon dan Italia-, seperti adanya pemisahan hukum perdata dan pidana (kriminal), tingkatan-tingatan pengadilan dari tingkat distrik, regional, banding dan pengadilan tingkat tinggi.
Di samping itu Somalia juga mengadakan kodifikasi terhadap beberapa materi hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa Somalia menganut campuran antara beberapa sistem hukum yaitu Eropha Continental (dalam hal kodifikasi), Anglo-saxon (dalam keberadaan common law dan equity), hukum Islam (teruama dalam materi hukum personal/keluarga) dan hukum adat (yang telah tereliminasi sejak reformasi hukum yang dilakukan oleh rezim sosialis).
Materi tentang waris dalam hukum keluarga Somalia telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat drastis dari hukum kewarisan yang terumuskan dalam fiqh mazhab yang dianutnya, dan sangat berbeda dari hukum waris yang dianut di berbagai negara muslim lainnya. Pembaharuan terhadap konsep kewarisan terebut pada hakekatnya tetap didasarkan kepada konsep kewarisan mazhab Sunny (terutama Syafi'i) yang dianutnya, seperti dalam sistem pembagaian menurut tingkatan ahli waris dan sistem ashabaah, namun kemudian  telah dilakukan perubahan pembagian waris dalam seluruh tingkatan ahli waris dan perubahan sistem ashabah, yang didasarkan kepada ide persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.[40]
Reformasi materi waris tersebut menggunakan model atau bentuk extra-doctrinal reform[41] yaitu dengan memasukan unsur-unsur dari luar hukum Islam. Unsur-unsur tersebut diantaranya ide keadilan sosial sebagai prinsip revolusi yang tejadi di Somalia, yang menjadi semangat dalam pembentukan hukumnya.
Somalia juga meratifikasi hak asasi manusia internasional yang tidak menganut pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan.Persamaan hak ini mengilhami reformasi materi kewarisan dalam hukum keluarga Somalia, sehingga dalam hukum waris terdapat pemberian hak yang sama antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan, sehingga terjadi perubahan besar dalam konsep pembagian waris di semua tingkatan ahli waris.
Kedudukan perempuan di Somalia mengalami perubahan-perubahan seiring dengan pergantian rezim penguasa pemerintah yang berkuasa. Pada masa sebelum pemerintahan sosialis Barre kaum perempuan tidak mempunyai hak yang sama dengan hak laki-laki termasuk hak-hak di bidang sosial dan politik, bahkan perempuan tidak mempunyai hak untuk mengikuti pemilihan umum. Sementara pada masa pemerintahan sosialis Barre, perempuan diberikan hak yang sama dengan laki-laki, baik dalam bidang sosial dan politik, termasuk pemberian hak waris yang sama dalam hukum personal Somalia.

Penutup
Dari paparan pembahasan diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Materi hukum waris Somalia mengalami perubahan yang sangat  drastis dalam semua tingkatan ahli warisnya, dan terlihat berbeda, bahkan menyimpang, jika ditilik dari konsep kewarisan Islam secara umum yang diterapkan di negara-negara muslim maupun ketentuan-ketentuan dari mazhab Syafi'i yang dianutnya yang menyatakan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Sebagai bukti adalah hukum waris Somalia memberikan hak dan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan di semua tingkataan ahli waris.
2.    Pembaharuan hukum Somalia di pengaruhi oleh beberapa sistem hukum yaitu Anglo-saxon, Eropa Continental, hukum Islam dan hukum adat setempat, serta sistem pemerintahan negara  Somalia yang sosialis juga turut mempengaruhinya..
3.    Reformasi materi hukum waris tersebut menggunakan model/bentuk extra-doctrinal reform yaitu dengan memasukan unsur-unsur dari luar hukum Islam. Unsur-unsur tersebut diantaranya ide keadilan sosial sebagai prinsip revolusi yang tejadi di Somalia, yang menjadi semangat dalam pembentukan hukumnya.
4.    Disamping model extra-doctrinal reform diatas, reformasi hukum Somalia tersebut juga menggunakan model regulatory yaitu pengaturan dan penertiban administrasi, prosedur peradilan dan struktur pengadilan. Seperti adanya pemisahan hukum perdata dan pidana (kriminal), tingkatan-tingkatan pengadilan dari tingkat distrik, regional, banding dan pengadilan tingkat tinggi dalam  menyelesaikan kasus-kasus yang menjadi jurisdiksi masing-masing pengadilan, termasuk di dalamnya kasus-kasus waris..     

[1] Hukum kewarisan Islam atau yang lazim disebut faroidh dalam literatur hukum Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur bagaimana peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup. Hukum kewarisan digali dari keseluruhan ayat hukum dalam al-Qur'an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi saw dalam Sunnahnya. Menurut Amir Syarifuddin, ada lima asas, yang berkaitan  dengan peralihan harta tersebut, yakni asas ijbari, bilateral, individual, asas keadilan, berimbang, dan asas semata-mata akibat kematian. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum kewarisan Islam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 17.
[2]Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kewarisan, seperti surat an-Nisa' (4): 7,8,11, 12,13,14,33 dan 176 dan surat al-Anfal: 175. Namun yang secara langsung berbicara tentang  furudh (bagia-bagian dalam waris) hanya ada tiga ayat dari surat an-Nisa'  diatas, yaitu ayat 11,12 dan 176. Ayat 11 berbicara tentang bagian anak laki-laki dan perempuan (1/2, 2/3 dan perimbangan bagian 1 banding 2), bagian ibu dan ayah (1/3 dan 1/6). Ayat 12 berbicara tentang hak suami dan istri (1/2,1/4 dan 1/8) dan hak saudara laki-laki maupun perempuan (1/6, dan 1/3). Ayat 176 berbicara tentang 2 hal, pertama definisi kalalah (orang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak, kedua, kewarisan saudara yang ditinggalkan oleh si Kalalah (1/2 dan 1/3). Hanya itulah kewarisan dalam al-Qur'an, tidak lebih dan kurang. Namun ada  beberapa orang yang kedudukannya sebagai ahli waris tetapi tidak ditentukan bagiannya oleh al-Qur'an, yaitu ayah, anak laki-laki dan saudara laki-laki. Dengan demikian mereka tidak termasuk penerima furudh. Al-qur'an hanya menjelaskan kewarisan secara furudh dan tidak menjelaskan kewarisan secara terbuka atau mereka yang berhak mewarisi seluruh harta jika seorang diri dan mewarisi sisa harta jika bersama dzul furudh lain. Mereka inilah yang disebut kewarisan ashobah di kalangan ahlu Sunnah dan kewarisan kerabat di kalangan ulama Syi'ah. Amir Syarifudin, Hukum …, h. 41.
[3]Negara pertama yang melakukan usaha pembaharuan hukum keluarga di Dunia muslim adalah Turky, yakni dengan dikeluarkannya ottoman law of family right ppada tahun 1917. Kemudian disusul Libanon dengan the muslim family law ordinance No. 40/1919. Disusul Mesir Law No. 25/1920, diringi Iran dengan Marriage Law-Nya tahun 1931, Yaman Selatan tahun 1942, Yordania tahun 1951, serta Syria sekitar tahun 50-an. Lihat Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World (New Delhi, n.p, 1972), hlm. 17,48,74 dan 214; Kiran Gupta, Polygamy Law in The Modern Muslim State: A Study Comparative Islamic And Comparative Law Review, vol.12 No.2     (Summer, 1992),hlm. 115-116 dan 129-130; J.N.D. Anderson, Modern Trend in Islam: Legal Reform and Modernisation in The Middle East, International and Comparative Law Quarterly, 20 (jan 1971), h. 6.
[4]Dalam penerapan hukum Keluarga ataupun hukum personal, negara-negara Islam dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu, pertama, negara Islam yang sama sekali tidak melakukan pembaharuan dan masih tetap memberlakukan hukum keluarga sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh mazhab yang dianut. Kedua, negara Islam yang sama sekali telah meninggalkan hukum keluarga Islam dan sebagai gantinya mengambil hukum Sipil Eropa. Ketiga, negara-negara yang berusaha memberlakukan hukum keluarga Islam tetapi setelah mengadakan pembaharuan disana-sini. Lihat M.Atho' Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara tradisi dan Liberasi,(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 174-175; Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, The Indian Law Institute, Tripathi, Bombay, 1971,pp.3-8. Lihat juga Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,cet. 1 (Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 134-136.  
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet.keempat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 355.
[6] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawarits Fi Asy-Syari'ah al-Islamiyah Fi Doui al-Kitab wa As-Sunnah, (Kairo: Dar al-Hadits,tt.), h. 33-34.
[7]At-Tabari, Tafsir At-Tabari, (Beirut: Dar al-Fikr,1978), IV, h. 185.
[8]Muhammad Rasyid Ridlo, Tafsir Al-Manar, Cet.-3, (Kairo: Dar Al-Fikr, tt), IV, h. 403.
[9]At-Tabari, Tafsir…, VI, h. 28.
[10]Terdapat dalam beberapa kitab hukum waris. Dinyatakan juga dalam J. Anderson, Hukum Islam Di Dunia modern, Penerjemah: Machnun Husein, Edisi 1,(Surabaya: Amar Press, 1990), h. 74.
[11]Al-Yasa Abu bakar, Ahli Waris Pertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab, (Jakarta: INIS,1998), h. 139.
[12]Ibid, h. 143.
[13] Al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Pertalian Sedarah…, h. 147.
[14] Ibid, h. 157.
[15]Muhammad Jawad al-Mughnyah, Fiqh Lima Mazhabi, (Jakarta: Lentera Basritama, 199), Cet. IV, h. 550.
[16] Ibid, h. 550-551.
[17]David S. Power, Peradilan Kekayaan dan Politik Kekuasaan: Kritik Historis Hukum Waris, alih bahasa Arif Maftuhin, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 119.
[18] Ibid.
[19] A.G. Pringgidigno (dkk), Ensiklopedi Umum, (Jakarta, Kanisius, 1973), h. 1232-1233.
[20] Ibid.
[21]John L. Esposito, dkk (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern World, (New York: Oxford University, Press, 1995), IV, h. 152.
[22]Sosialisme Ilmiah adalah suatu pandangan hidup, yang menaruh minat yang kuat dan perhatian yang serius terhadap tatanan sosial daaalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Bukti empiris yang dapat dilihat dengan diberlakukan Sosialisme Ilmiah sebagai ideologi negara Somalia oleh Presiden Mohamed Siyad Barre adalah    masuknya ide-ide pemegang kekuasaan negara yang berasal dari luar Islam dalam melakukan politik hukum. Salah satu diantara ide-ide itu seperti ide tentang keadilan sosial, yang tidak menganut pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sehingga dalam hukum waris Somalia misalnya, terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan yang berbeda dari konsep  fiqh tradisional yang dianut oleh mayoritas disana. Yaitu dari bagian 1: 2 untuk bagian laki-laki dan perempuan berubah menjadi 1: 1 (sama-sama mendapat bagian yang sama). Selain ide tentang keadilan sosial diatas, Pemerintahan Siyad Barre juga melakukan perubahan ilmiah dalam hal tradisi tulis-menulis. Bahkan tulisan latin menjadi tulisan resmi negara Somalia. Hal ini sangatlah berbeda ketika Somalia di pimpin oleh rezim sebelum Siyad Barre, dimana tradisi lisan sangat terkenal dan kaya, bahkan dijaga kelestariannya secara dihafal tidak secara dicatat. Dengan kata lain bahwa rezim sebelum Siyad Barre lebih menekankan pada tradisi Oral dari pada tradisi Tulis, sedangkan rezim Siyad Barre menekan pada kedua-duanya, bahkan lebih menekankan pada tradisi tulis. .Lihat John L. Esposito dkk (ed), Encyclopedia Oxford dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), V, h. 187.Lihat juga Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, cet. Kedua (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 165.
[23] John L.Esposito,  The Oxford Encyclopedia …, h. 152.
[24] Ibid, h. 185.
[25]Hakim memutuskan perkara berdasarkan putusan hakim sebelumnya. Hal ini terdapat dalam sistem Common Law. Lihat  John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia…, h. 185..
[26]Equity adalah norma-norma hukum yang ada pada abad ke-13 dan diterapkan oleh badan Court of Charity, yang berfungsi melengkapi kekurangan-kekurangan Common Law dan mengadakan koreksi terhadap Common Law. Timbulnya equety disebabkan karena Common law dalam memberikan putusannya tidak dapat memuaskan para pencari keadilan, bahkan dalam beberapa hal tidak mampu mengadilinya, sehingga mereka mencari kesempatan untuk meminta keadilan dari pihak pimpinan gereja/agamawan (Lord Chancellor), R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h. 90-91.
[27] Legal System dalam http Somalia
[28]Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries,(New Delhi: Academy of Law and Religion,1987), h. 254.
[29] Ibid.
[30]Legal System dalam http Somalia,"Legal History" dalam http law in Somalia
[31] Tahir Mahmood, Personal…,  h. 255.
[32]Disarikan dari artikel sub judul 'courts' dalam http Somalia
[33]Tahir Mahmood, Personal…,  h. 260.
[34]Ketentuan ini  berbeda  bila dibandingkan dengan ketentuan dalam Surat an-Nisa (4) ayat  :12 yang menyatakan bahwa suami mendapat separoh bagian apabila tidak ada anak dan jika ada anak, suami mendapat bagian seperempat. Demikian juga istri, mendapat seperempat jika tidak ada anak dan mendapat seperdelapan jika ada anak. Lihat Rasyid Ridlo, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, tt),IV, h. 420-421
[35]Bila dibandingkan dengan ketentuan dalam Surat an-Nisa (4) :11 terlihat berbeda bahkan bertentangan. Hal ini karena Surat An-Nisa' ayat: 11 menyatakan bahwa anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempan, sementara ketentuan hukum waris Somalia berdasarkan pasal 161 menyatakan bahwa antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama bagiannya..
[36]Ketentuan Pasal 163 ini terlihat sangat berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan dalam al-Qur'an Surat an-Nisa (4): 11 juga. Dari ketentuan  ayat tersebut dapat dipahami bahwa ayah dan ibu masing-masing mendapat seperenam apabila ada anak. Akan tetapi, jika tidak ada anak dan pewaris, hanya diwarisi oleh ibu-bapaknya,  maka dalam hal ini ibu mendapat sepertiga dan sisanya untuk ayah. Lihat Rasyid Ridha, Tafsir…,  h. 415.
[37] Ketentuan Pasal 164 diatas juga terlihat sangat berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan dalam al-Qur'an Surat an-Nisa (4): 176. Dari ketentuan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Ayat 176 berbicara tentang 2 hal, pertama definisi kalalah (orang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak, kedua, kewarisan saudara yang ditinggalkan oleh si Kalalah (1/2 dan 1/3).
[38] Tahir mahmoud, Personal Law…, h. 253.
[39] Wadad adalah salah satu diantara kelompok masyarakat adat Somalia yang dikenal sebagai kelompok (orang-orang) agamawan. Kelompok ini berfungsi sebagai penengah konflik ketika terjadi konflik diantar sesama masyarakat Somalia dan umumnya mereka memilih untuk menghindari kehidupan politik. Sedangkan sebagian yang lain dari masyarakat Somalia disebut dengan Warior atau Waranleh (pembawa tombak). Kelompok yang terakhir ini adalah para pejuang atau prajurit yang pada umumnya ikut berperan dalam perpolitikan negara. Lihat John L. Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World,  (New York: Oxford University Press,1999), h. 91-92.
[40]Seperti bagian waris yang diberikan kepada pasangan yang masih hdup dalam mazhab Sunny suami mendapat dua kali bagian istri, baik dalam hal si  meninggal mempunyai anak atau tidak, namun dalam hukum waris Somalia pasangan yang masih hidup baik suami ataupun istri mendapatkan bagian separoh jika tidak ada anak, dan seperempat jika ada anak. Sementara dalam sistem ashabah (fi nafsih) terdiri dari ahli waris perempuan dapat menjadi ashabah bin nafsih. Hal ini dapat dilihat dalam kasus si meninggal hanya mempunyai seorang anak baik laki-laki ataupun perempuan, dia menjadi ashabah yang mendapatkan seluruh harta peninggalan. Pembaharuan konsep kewarisan Somalia ini selain lebih di dasarkan kepada hukum adat yang berlaku turun temurun, juga nampak lebih dekat dengan hukum waris mazhab Syi'ah Imamiyah. Sebagai contoh dalam kasus bagian anak laki-laki dan perempuan mazhab tersebut menyamakan kedudukan  mereka dalam hak menerima waris yaitu masing-masing mendapatkan separoh. Selain itu jika ahli waris hanya anak perempan maka menurut mazhab Syi'ah Imamiyah, ia mendapatkan seluruh harta waris meskipun ada saudara laki-laki dan ada kakek dari pihak ayah. Sementara jika menurut mazhab empat, anak perempuan tersebut mendapat separoh jika ada  saudara laki-laki atau kakek. Lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Basri Press, 1994), h. 333.
[41]Setidaknya ada dua model yang dikenal dalam kaitannya dengan reformasi/ pembaharuan hukum, yaitu: (1) Intra –Doctrinal Reform dan (2) Ekstra –Doctrinal Reform. Lihat Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (Bombay: N. M. Tripathi, 1972), h. 115.

Tidak ada komentar: