Reformasi Hukum Keluarga Di
Dunia Islam Modern
(Studi Hukum Waris Di Somalia)
Oleh: M Farid Naya
Pendahuluan
Hukum Kewarisan Islam[1]
secara mendasar merupakan ekspresi langsung dari teks-teks suci sebagaimana
pula yang disepakati keberadaannya. Ia manifestasi dari rangkain teks dokumen
suci dan telah memperoleh prioritas yang tinggi dalam keterlibatannya sebagai
fenomena prinsip yang fundamental dalam ajaran Islam.
Suatu
fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa kelahiran hukum kewarisan Islam
dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkrit dan realistis
disamping bukan untuk sekedar merespon problem hukum di zaman pemunculannya
tetapi lebih jauh adalah demi mengisi kebutuhan hukum Islam sebagai konstruksi
ajaran. Sisi ini juga dapat dibuktikan
dengan refleksinya mampu memberikan paparan ide dasar sistem kewarisan Islam
yang sesungguhnya tanpa adanya pelbagai interpretasi.
Berangkat
dari sinilah kelompok "trdisionalis" Islam tetap menolak adanya
berbagai ide pembaharuan terhadap hukum waris Islam. Lebih jauh dalam berbagai
tebaran kitab-kitab klasik ia disebut dengan istilah "faroidl" yang
merupakan bentuk jamak dari kata "Faridloh" yakni bagian-bagian yang telah ditentukan.[2]
Pengertian ditentukan dimaksud adalah sesuai dengan apa yang yang telah
ditetapkan wahyu sebagai dokumen suci.
Bila ia demikian, selanjutnya akan dipahami sebagai suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim. Ia dianggap sebagai compulsory law-
hukum yang berlaku secara mutlak. Khazanah pemikiran klasik ini direfleksikan
dari rangkaian pemahaman terhadap teks-teks suci mengenai hukum waris adalah
qath'i baik dari segi wurudnya maupun dalalahnya.
Walaupun
demikan, bagi sebagian kalangan, hukum waris dalam hal-hal tertentu dianggap
tidak selamanya prinsipil. Artinya ia bisa saja ditafsirkan dan direkonstruksi,
sesuai dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk dipertimbangkan.
Dalam
kaitannya dengan upaya merekonstruksi, walaupun bukan negara yang pertama
melakukannya[3],
apa yang dilakukan Somalia selayaknya mendapat pujian dan aplous dari berbagai
pihak. Mengapa? Hal ini karena dalam penerapan hukum keluarga ataupun hukum
personal sebagaimana yang terjadi negara-negara Islam[4],
Somalia selain merupakan negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, juga termasuk negara Islam yang menerapkan hukum keluarga Islam, dengan
mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Terutama materi waris dalam hukum keluarga Somalia
telah mengalami perubahan besar dari sistem hukum waris Islam yang telah
dirumuskan oleh mazhab-mazhab fiqh dan berbeda dari sistem hukum waris di
negara muslim lainnya. Yaitu hukum
waris Somalia
memberikan hak dan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan,
sehingga terjadi perubahan pembagian warisan di semua tingkatan ahli waris,
baik ahli waris tingkat pertama, kedua maupun ketiga.
Berdasarkan
paparan diatas, maka tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang bagaimana
hukum waris di Somalia, mengapa terjadi perubahan yang cukup besar dari konsep
kewarisan Islam secara umum, dan unsur-unsur apa saja yang mempengaruhi
perubahan tersebut serta metode apa saja yang digunakannya.
Oleh
karena itu, penulis akan mengawali bahasan dengan mengetengahkan gambaran
singkat tentang konsep hukum waris Islam. Bahasan ini perlu, agar dapat
diketahui sejauh mana perubahan hukum waris di Somalia dengan kosep hukum waris
Islam pada umumnya. Berikutnya bahasan tentang negara Somalia dan juga
latar belakang proses pengkodifikasian hukum keluarga Somalia. Hal ini penting karena
sudah menjadi rahasia umum bahwa sebuah gerakan yang sifatnya mereform tidak
akan pernah lepas dari iklim dan perubahan cuaca saat itu, serta yang tidak
ketinggalan juga adalah metode-metode apa saja yang di gunakan dalam proses
perubahan dalam hukum waris Somalia
tersebut. Kemudia dilanjutkan dengan menampilkan sekilas Undang-undang waris
Somalia yang menurut anggapan penulis merupakan sesuatu yang baru dan merupakan
hasil reformasi yang layak untuk diketahui khalayak. Selanjutnya diakhiri
dengan kesimpulan sebagai benang merah dari makalah ini.
Konsep Waris dalam Fiqh Klasik
Warisan
secara bahasa merupakan bentuk masdar
dari kata al-irts, mirats yang berakar dari kata waratsa-yaritsu-irts-mirats,
yang memiliki beberapa arti; pertama, mengganti (QS. Al-Naml, 27:16),
artinya Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Dawud, serta mewarisi ilmu
pengetahuannya. Kedua, memberi (QS. Al-Zumar, 39:74), dan ketiga,
mewarisi (QS. Maryam, 19:6).[5]
Sehingga warisan secara bahasa dapat diartikan sebagai peralihan sesuatu dari
seseorang kepada orang lain atau dari
kaum satu kepada kaum lain secara umum, baik berupa harta, ilmu, kehormatan dan
sebagainya.
Sedangkan
menurut pengertian syara', warisan berarti peralihan harta dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang
hidup baik yang ditinggalkan berupa harta benda, ataupun hak dari hak-hak
syar'i.[6]
Adapun
ayat-ayat yang menjadi dasar hukum kewarisan dan pembagiannya diantaranya
adalah surat an-nisa' ayat 11,12 dan 176. Sebab turunnya ayat 11 dan 12
tersebut diatas, menurut At-Tabari ada beberapa riwayat, diantaranya yaitu
bahwa pengaduan isteri Sa'ad kepada Rasul karena saudara Sa'ad telah mengambil
semua warisan tanpa menyisakan sedikitpun untuk anak perempuan. Riwayat yang
lain mengatakan bahwa ayat itu turun untuk membatalkan praktik-praktik
jahiliyah yang hanya memberikan warisan kepada lak-laki yang sanggup pergi
berperang. At-Tabari menukilkan sebuah riwayat tentang keheranan beberapa
sahabat, kenapa orang perempuan dan anak-anak yang tidak ikut perang diberi
bagian dari harta warisan bahkan ada yang berharap agar Rasul merubah ketetapan
tersebut dan praktik jahiliyah diberlakukan kembali. Ada pula yang
mengatakan turun ayat itu untuk membatalkan praktik yang dilakukan Nabi
saw di awal Islam yaitu kewarisan didasarkan kepada pertalian darah,
pengangkatan anak, dan al-Half (sumpah setia). Hampir sama dengan ini,
ada riwayat yang mengatakan turun ayat ini untuk membatalkan praktik pengalihan
harta kepada anak melalui kewarisan dan pemberian hak kepada orang tua melalui
wasiat.[7]
Dalam tafsir Al-Manar juga disebutkan sebab turunnya ayat tersebut diantaranya
adalah riwayat tentang kedatangan isteri Sa'ad bin Rabi' kepada Nabi [8],
sebagaimana penjelasan At-Tabari diatas.
At-Tabari
juga mengatakan bahwa menurut pendapat Abu Bakar as, ayat 11 turun untuk
mengatur hak kewarisan anak dan orang tua, ayat 12 tentang suami,istri dan
saudara seibu, dan ayat 176 tentang saudara sekandung (seayah).[9]
Berdasarkan
ayat waris tersebut diatas, biasanya para ulama mengelompokan ahli waris
menjadi: Ahli waris tingkat pertama yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan semua
anak dari orang yang meninggal, ahli waris tingkat dua yaitu semua kakek dan
nenek, diluar ayah dan ibu dan seterusnya keatas, dan semua anak dari kedua
orang tua (saudara kandung,seayah, seibu), serta ahli waris tingkat ketiga
yaitu paman dan bibi dari pihak ayah serta anak-anaknya, paman dan bibi dari
pihak ibu beserta anak-anaknya.[10]
Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi'I, Hanbali, Zaidi, dan Zahiri, membagi ahli waris menjadi
dzawi al-furudl (ahli waris yang ditetapkan dalam nash),ashobah
(ahli waris yang mendapatkan sisa
harta warisan setelah dibagikan kepada dzawi al-furudl), dan dzawi
al-arham (ahli waris yang bagiannya belum ditetapkan dalam nash).[11]
Jumhur sahabat yang kemudian diikuti jumhur ulama menetapkan anak perempuan
derajat pertama sebagai dzawi al-furudl, sedang anak laki-laki dan
perempuan derajat kedua menjadi ashabah.[12]
Adapun berdasarkan ayat 11 an-nisa' maka para ulama sepakat apabila ada anak,
maka masing-masing orang tua memperoleh seperenam sebagai dzawi al-furudl.
Kalau ahli waris hanya mereka berdua, maka ibu mendapat sepertiga dan ayah
mendapat ahsobah.[13]
Sedangkan dalam hal saudara, para ulama bersepakat untuk membedakan saudara
kepada yang kandung, seayah, seibu. Jumhur ulama berpendapat bahwa saudara
kandung lebih kuat dari pada yang seayah, sedang saudara seibu berbeda kedudukannya
dengan saudara sekandung dan seayah, karena dia hanya menjadi dzawi al-frudl
dan tidak dapat menjadi ashobah.[14]
Berdasarkan
ayat waris ulama jua berbeda pendapat bahwa bagian yang telah ditetapkan dalam
al-Qur'an (furudl al-muqaddarah) yaitu seperdua, sepertiga, dua pertiga,
seperempat, seperenam dan seperdelapan.[15]
Menurut
Mazhab empat[16],
bagian seperdua adalah bagi anak perempuan tunggal jika tidak ada anak
laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan tunggal yang
sekandung atau seayah jika tidak ada saudara laki-laki sekandung atau seayah,
dan suami jika istri tidak mempunyai anak.
Bagian
seperempat diberikan kepada suami jika istri mempunyai anak dan kepada istri
jika suami tidak mempunyai anak. Bagian seperdelapan diberikan kepada istri
jika suami mempunyai anak.
Bagian
dua pertiga diberikan kepada dua orang anak perempuan atau lebih jika anak
laki-laki tidak ada, dan kepada dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung
atau seayah jika tidak ada saudara laki-laki sekandung atau seayah.
Bagian
sepertiga diberikan kepada ibu jika tidak ada anak laki-laki dan saudara si
mayit, juga kepada dua atau lebih saudara perempuan atau laki-laki dari jalur
ibu. Bagian seperenam diberikan kepada ayah bila ada anak si mayit, ibu jika
ada anak laki-laki atau saudara si mayit, kepada saudara laki-laki atau
perempuan si mayit yang seibu jika hanya seorang.
Ahli
waris yang menerima ashobah (sisa harta peninggalan) adalah ahli waris
dari jalur laki-laki yaitu anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki,
ayah, kakek dari pihak ayah ke atas, saudara sekandung, saudara seayah dan
sebagainya. Dalam hal ashobah bil ghoir yaitu jika ada seorang anak
perempuan atau lebih, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan
sekandung, saudara perempuan seayah, bersama-bersama dengan keberadaan ahli
waris laki-laki (anak laki-laki atau saudara laki-laki), bagian perempuan
separuh dari laki-laki.
Dalam
ahli waris tingkat pertama terutama tentang anak dinyatakan dalam kalimat
pertama bahwa anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan. Hal ini
merupakan solusi bagi segala kombinasi anak laki-laki dan anak perempuan.
Misalnya jika almarhum meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan, maka bagian anak laki-laki dua pertiga dan perempuan sepertiga.[17]
Hal ini sebagaimana yang dirumuskan oleh para fuqaha dalam ashobah bil
ghoir. Dalam kalimat kedua baru diterangkan bagian anak perempuan jika
tidak ada anak laki-laki.[18]
Sekilas tentang Negara Somalia
Republika
Demokrasi Somalia atau biasa disebut Somalia merupakan daerah pantai di ujung
timur laut Afrika. Negara ini berbatasan dengan teluk Aden (utara), Samudra
Hindia (timur dan selatan), serta Kenya, Ethiophia dan Djiobuoti (barat).
Secara umum iklim Somalia panas, tanahnya tandus sepanjang tahun, kecuali di
lembah-lembah sungai yang airnya tidak kering sepanjang tahun. Sumber
penghidupan utamanya berasal dari hasil pertanian terutama cengkeh dan ternak
serta hasil ekspor garam, kulit, kapas,
mutiara dan indung mutiara.[19]
Manurut
sejarah klasik Somalia, diyakini bahwa nenek moyang Somalia adalah bangsa Arab
dari suku Quraisy yang datang ke Afrika melintasi teluk Aden pada abad ke-7
Masehi. Diantara mereka yang terkenal adalah Aqil ibn Abu Thalib, salah seorang
pelayan Nabi Muhammad. Kemudian mendirikan kesultanan Islam di Zeila dan
Mogadiscio. Inilah awal mula terbentuknya bangsa Somalia,
yang namanya (somalia) berasal dari mayoritas suku bangsa yang mendiami daerah
tersebut.[20]
Sejarah
Modern Somalia bertitik tolak dari kolonisasi Inggris dan Italia pada
pertengahan tahun 1880-an. Zeila, Berbera dan daerah-daerah disekitarnya
diperintah oleh Inggris sebagai Inggris Somalian dari tahun 1880-an sampai
tahun 1960. Jauh keselatan di sepanjang garis pantai dari tanjung Guardatul
sampai ke Kenya,
terdapat suatu bentangan tanah yang menjadi koloni Italia, yakni Italia Somalian. Selama perang dunia II
dan tidak lama sesudahnya, negeri ini diduduki Inggris. Setelah perang selesai
koloni tersebut menjadi wilayah peralihan PBB yang diperintah oleh Italia yang
ikut membantu mempersiapkan kemerdekaannya. Dalam masa itu bangsa Somalia yang
tinggal di Somalian Inggris mulai memperjuangkan kemerdekaan. Mereka berhasil
mewujudkannya pada bulan juli 1960. Pada bulan Juli itu juga, ketika wilayah
bagian selatan memperoleh kemerdekaannya, kedua negara tersebut bergabung
membentuk Republik Somalia. Pada bulan September 1960 negara itu diterima
menjadi anggota PBB.[21]
Republik
Somalia merupakan negara demokrasi yang menjalankan sebuah sistem parlementer
multi partai antara 1960 hingga 1969. setelah terjadi pembunuhan atas
presidennya, Sayyid Muhamed Abdille Hasan (Muhammad Ibn Abdullah Hasan),
angkatan bersenjata atau militer yaitu Jenderal Mohammad Siyad Barre mengambil
alih tampuk pemerintahan dan mengumumkan sosialisme ilmiah (scientific
sosialism) sebagai idiologi negara.[22]
Tulisan latin dijadikan tulisan resmi
negara Somalia.
Sistem militer dictator yang diadopsi dari soviet diberlakukan secara represif
terutama terhadap agama.
Pada
tahun 1975 Barre mengeksekusi para pemimpin agama karena protes damai yang
mereka lakuka terhadap pemberlakuan hukum keluarga dan perkawinan yang baru,
dianggap menyimpang dari peraturan Islam. Kemudian negara mengatur maslah
ibadah sholat, puasa, pakaian keagamaan dan sebagainya. Para
pelajar yang memakai pakaian muslim (jilbab) ditangkap dan dipenjarakan. Pada
tahun 1989 sampai tahun 1990, tentara Barre membantai ratusan pemimpin agama
dan para pengikutnya. Dibandingkan dengan periode kediktatoran Barre, seakan
Islam lebih aman dibawah pemerintahan kolonialisme Eropa.[23]
Pada
tanggal 15 Mei 1990 ratusan pemimpin politik dan para pegawai membuat isu yaitu
sebuah manifesto yang menuntut Barre untuk meletakkan jabatannya. Para pemimpin
agama juga mengajukan tuntutan yang disebut "Seruan Islam pada tanggal 7
Oktober 1990. Seruan tersebut menerima demokrasi parlementer secara umum bahkan
menuntut adanya institusi syura Islam. Barre jatuh pada Januari 1991 yang
diikuti dengan terjadinya chaos, perang civil, kejahatan-kejahatan dan
sebagainya yang membawa pendudukan PBB dibawah pimpinan Amerika di Somalia pada
Desember 1992.
Berdasarkan
sensus tahun 1980, penduduk Somalia berjumlah 6.248.000, dengan penduduk muslim
hampir mencapai 100 %, disamping warga Inggris, itali dan kristen yang tidak
mencapai 1 %. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Somalia dan bahasa Arab.
Muslim somalia mayoritas adalah Sunni yaitu penganut mazhab Syafi'I. Karena
loyalitas mereka terhadap Islam, maka mereka masih membedakan tetangga mereka
yang beragama kristen, ataupun yang
masih setia menganut kepercayaan asli Afrika.[24]
Adapun Islam oleh pemerintah Somalia dideklarasikan sebagai agama resmi pada
tahun 1979.
Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga Somalia
Pada
masa kolonial, di daerah Somalia berlaku hukum Inggris dari abad 19-20. Inggris
memberlakukan Peradilan Adat, Ordonansi perkawinan tahun 11928 dan Ordonansi
Peradilan Qadi tahun 1937. Kemudian dikeluarkan Ordonansi Peradilan Rendah
tahun 1944 yang mencabut Ordonansi tahun 1973, yang membatasi jurisdiksi
Peradilan Qadi hanya dalam materi status persoanal. Sedangkan di bawah
kekuasaan Itali yaitu di daerah Somalia selatan, masih mengembangkan sistem
Peradilan Qadi yang memiliki jurisdiksi perkara perdata (civil) dan pidana
ringan.
Setelah
masa kemerdekaan yaitu tahun 1960 Somalia yang mempunyai empat tradisi hukum
yang berbeda yaitu Common Law Inggris, hukum Italia, hukum Islam
(syari'ah) dan hukum adat Somalia, berusaha menjadikan warisan hukum yang
berbeda-beda tersebut menjadi satu sistem. Oleh karena itu dilakukan
penyeragaman kodifikasi hukum pidana dan acara pidana serta dilakukan regulasi
terhadap organisasi peradilan, dengan mengadopsi sistem hukum Italia yang
berdasarkan kepada penerapan putusan peradilan (present)[25]
dan interpretasi hukum kodifikasi, serta menerapkan Common Law Inggris dan doktrin equety[26],
dalam masalah-masalah yang tidak diatur dalam legislasi. Hukum Islam yang
berlaku hanya terbatas pada perkara perkawinan, perceraian, perselisihan
keluarga dan warisan. Hukum adat Somalia diterapkan secara opsional dalam
beberapa perkara yaitu pertanian, air hak penanaman, dan pembayaran diyat.[27]
Debat
mengenai perlunya pembentukan kembali hukum keluarga Somalia yang sesuai dengan
kebijakan-kebijakan partai politik sosialis baru di tanggapi oleh negara tahun
1972. Sejak itulah pemerintah melalui Dewan Komisi mempersiapkan draft mengenai
hukum keluaga yang baru.
Dengan
beberapa perubahan yang signifikan terhadap perundang-undangan yang dibuat oleh
partai sosialis baru, draft undang-undang keluarga baru selesai dibuat dan diundangkan pada tahun 1975,
dengan nama hukum keluarga Somalia (Family Code of Somalia). Para
Perancang undang-undang tersebut diketuai oleh Abdi Salim Syaikh Hussain, Menteri Sekertaris Negara Urusan
Keadilan dan Agama, Pemerinah Somalia
dan Presiden Siyad Barre.[28]Alasan
pembentukan dan pengundangan ini,menurut mereka adalah untuk menciptakan
masyarakat yang sehat.
Adapun
tujuan utama dari pembentukan dan pengundangan undang-undang tersebut adalah
untuk menghapus kekolotan atau kekakuan hukum adat yang dipandang bertentangan
dengan kebijakan pemerintahan baru Barre.[29]
Ia kemudian membatasi pengaruh klan dalam penerapan hukum dan sanksi
tradisional (adat) dan menghapuskan klan-klan tradisional serta menghapus hak
klan dalam hal penguasaan tanah, sumber air dan hak penanaman.[30]
Undang-undang
hukum keluarga 1975 tersebut terdiri dari 173 pasal yaitu tentang:
1.
Perkawinan dan perceraian;
meliputi dasar perkawinan, usia perkawinan, pelarangan perkawinan, perwalian
nikah, pembatalan perkawinan, mahar, nafkah,
hidup bersama, talaq, perceraian di pengadilan, penetapan kematian dan
iddah.
2.
Anak dan nafkah, meliputi peran
bapak, peran ibu, tanggungjawab bapak, pengasuhan anak, nafkah dan pemibiayaan
terhadap anak..
3.
Perwalian, meliputi perwalian itu
sendiri, pengawasan dan perwakilan wali, pengajaran dan perwakilan,
perlindungan terhadap orang yang tidak cakap hukum, orang yang cacat,
kematian/kehilangan personalitas, dan adopsi.
4.
Kewarisan, meliputi; waris dan
syara-syaratnya,ditolak dan diterimanya warisan, ahli waris dan harta-harta
yang diwariskan, prinsip-prinsip umum kewarisan, bagian-bagian waris, halangan
kewarian, dan ketetapan-ketetapan khusus.
Di
samping peraturan tersebut, dinyatakan bahwa peraturan yang belum tercantum
dalam perundangan tersebut akan didasarkan kepada: 1)pendapat dominan dari
mazhab syafi'i , dan 2) prinsip-prinsip umum hukum Islam dan keadilan sosial. [31]
Sistem
Peradilan Somalia
Konstitusi tahun 1961 telah menetapkan suatu univikasi
peradilan yang indevenden dari pihak eksekutif dan legislatif. Pada tahun 1962
dilakukan penyatuan pengadilan Somalia utara dan selatan dengan pembagian empat
sistem pengadilan yaitu pengadilan tingkat tinggi, pengadilan tingkat banding,
pengadilan regional dan pengadilan distrik. Pengadilan-pengadilan syari'ah
(qadi) tidak diberlakukan walaupun dalam memutuskan perkara hakim
mendasarkan kepada syari'ah sebagai
pertimbangan.
Peradilan
tingkat paling rendah adalah pengadilan distrik (terdiri dari 84 distrik) yang
masing-masing dibagi menjadi divisi pidana dan perdata. Divisi pidana menangani
masalah kriminal dan hukumnya, sedangkan divisi perdata mempunyai jurisdiksi
tentang perkara gugatan -sekitar 3000 Silling Somalia-dengan penerapan syari'ah
(hukum Islam) dan hukum adat.
Pengadilan
regional (8 regional), masing-masing mempunyai tiga divisi yaitu divisi pidana
dan perdata yang menangani kasus-kasus besar, dan divisi yang menangani kasus
perburuhan. Adapun pengadilan tingkat banding ada dua yaitu bagian selatan yang bertempat di Mogadishu dan bagian utara
bertempat di Hargeysa. Pengadilan tingkat banding mempunyai dua divisi yaitu
divisi biasa yang menangani banding dari putusan pengadilan distrik dan banding
putusan perkara biasa pengadilan regional, serta assize division hanya
menangani banding dari pengadilan assize regional. Pengadilan tingkat tinggi
berkedudukan di Mogodishu, mempunyai otoritas tertinggi dalam penyeragaman
interpretasi terhadap hukum. Pengadilan ini menangani banding dari putusan
pengadilan tingkat di bawahnya.
Rezim
barre tidak banyak merubah struktur sistem pengadilan yang telah ada, namun
mereka menambahkan pengadilan keamanan nasional (National Security Courts)
yang langsung dibawah kontrol pihak eksekutif.[32]
Materi Hukum
Waris Somalia
Materi waris dalam hukum keluarga tahun 1975 mengalami
perubahan yang drastis -terutama dalam hal pembagian waris- dari sistem
kewarisan Islam secara umum maupun mazhab yang mereka anut. Hal tersebut nampak
dalam hal pemberian hak waris yang sama antara laki-laki dan perempuan. [33]
Diantara pasal-pasal yang mengandung materi waris dalam hukum keluarga tahun
1975 adalah:
1. Pasal
158: Untuk menyesuaikan prinsip-prinsip Piagam Revolusi pertama dan kedua,
laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam warisan.
2. Pasal
159: Ahli waris yang mendapatkan warisan adalah: pasangan yang masih hidup,
anak-anak, cucu dengan jenis kelamin apapun, ayah, kakek, ibu, nenek, saudara
laki-laki dan perempuan sekandung, seayah dan seibu.
3. Pasal
160 (1): pasangan yang masih hidup akan mendapat setengah dari harta
peninggalan jika tidak ada anak atau cucu. Jika ada anak atau cucu, maka akan
mendapatkan seperempat dari harta peninggalan, jika ada lebih dari satu janda,
maka bagian setengah, dan sisanya akan dibagi kepada orang tua dengan sama
rata.[34]
4. Pasal
161: Jika yang meninggal hanya mempunyai seorang anak laki-laki atau perempuan,
maka dia akan mendapat seluruh harta peninggalan. Jika ada dua atau lebih anak
laki-laki atau perempuan, maka harta dibagi diantara mereka sama rata tanpa
melihat jenis kelamin. Jika tidak ada anak melainkan ada cucu baik laki-laki
atau perempuan, harta akan dibagi diantara mereka dengan bagian yang sama.[35]
5. Pasal
162: Jika yang meninggal hanya mempunyai bapak, maka ia akan mendapatkan
seluruh harta peninggalan. Jika terdapat juga anak atau cucu, bapak mendapat
seperenam dan sisanya akan dibagi sama rata kepada anak-anak atau cucu. Kakek
dapat mewarisi jika bapak tidak ada atau menempati kedudukan bapak.
6. Pasal
163: Jika orang yang meningal hanya mempunyai ibu maka dia akan mendapatkan
seluruh harta peninggalan. Jika ada juga anak atau cucu mak ibu akan mendapat
seperenam dan anak-anak atau cucu akan mendapatkan bagian sama rata dari sisa
harta peninggalan. Nenek akan mendapat warisan dengan menempati kedudukan ibu.[36]
7. Pasal
164: Jika yang meninggal hanya mempunyai seorang saudara laki-laki atau
perempuan, dia akan medapat seluruh harta warisan. Jika ada dua atau lebih
saudara laki-laki atau perempuan, maka harta peninggalan akan diagi diantara
mereka dengan sama rata. Jika terdapat juga kakek atau nenek, maka mereka
mendapat seperenam dari harta peninggalan dan sisanya dibagi sama rata kepada
saudara baik laki-laki atau perempuan.[37]
8. Pasal
167 ayah dan ibu akan menghijab kakek atau nenek dengan jalur ayah dan ibu.
9. Pasal
168: Saudara laki-laki atau perempuan akan terhijab oleh ayah, ibu, dan
anak-anak atau cucu.
10. Pasal
169: Anak-anak akan menghijab cucu, dan
anak atau cucu akan mengurangi bagian dari pasangan, ayah, atau kakek, dan ibu
atau nenek.
Reformasi Materi Hukum Kewarisan dalam Hukum
Keluarga Somalia
Mayoritas masyarakat Somalia menganut mazhab Syafi'i, yang
nampak dalam penyusunan hukum personal dan hukum keluarganya.[38]
Disamping itu terdapat unsur-unsur lain yang mempengaruhi pembentukan hukum
personal Somalia.
Hal ini nampak dalam hukum Islam yang diterapkan terutama hukum waris.
Kelompok
Sunni tradisonal ataupun penganut Syafi'i tradisional sebagai mayoritas di sana
merupakan kelompok yang wadaad[39]
-dalam masyarakat adat- yang banyak meninggalkan kancah perpolitikan negara
termasuk politik hukumnya. Sementara pemegang kekuasaan negara adalah kelompok
Islam modernis yang cenderung kepada nasionalis dan bahkan sosialis, terutama
masa pemerintahan Barre yang mengadakan reformasi hukum personal Somalia. Oleh
karena itu dalam penyusunan hukum personal (keluarga) baru tahun 1975, banyak
dimasukan ide-ide pemegang kekuasaan negara sebagai institusi yang berwenang
dalam melakukan politik hukum, sehingga terjadi perubahan-perubahan dari konsep
fiqh mazhab tradisional yang dianut oleh mayoritas di Negara ini..
Somalia
termasuk negara yang menetapkan hukum keluarga Islam dengan mengadakan
pembaharuan-pembaharuan baik dari segi prosedural (hukum acara) dan struktur
peradilannnya maupun materi hukumnya. Reformasi hukum Somalia tersebut
menggunakan metode regulatory yaitu pengaturan dan penertiban
administrasi, prosedur peradilan dan struktur pengadilan. Unsur regulatori
tersebut diadopsi dari sistem hukum Barat-terutama Anglo–saxon dan
Italia-, seperti adanya pemisahan hukum perdata dan pidana (kriminal),
tingkatan-tingatan pengadilan dari tingkat distrik, regional, banding dan
pengadilan tingkat tinggi.
Di
samping itu Somalia juga mengadakan kodifikasi terhadap beberapa materi hukum,
sehingga dapat dikatakan bahwa Somalia menganut campuran antara beberapa sistem
hukum yaitu Eropha Continental (dalam hal kodifikasi), Anglo-saxon (dalam
keberadaan common law dan equity), hukum Islam (teruama dalam
materi hukum personal/keluarga) dan hukum adat (yang telah tereliminasi sejak
reformasi hukum yang dilakukan oleh rezim sosialis).
Materi
tentang waris dalam hukum keluarga Somalia telah mengalami perubahan-perubahan yang
sangat drastis dari hukum kewarisan yang terumuskan dalam fiqh mazhab yang
dianutnya, dan sangat berbeda dari hukum waris yang dianut di berbagai negara
muslim lainnya. Pembaharuan terhadap konsep kewarisan terebut pada hakekatnya
tetap didasarkan kepada konsep kewarisan mazhab Sunny (terutama Syafi'i) yang
dianutnya, seperti dalam sistem pembagaian menurut tingkatan ahli waris dan
sistem ashabaah, namun kemudian telah
dilakukan perubahan pembagian waris dalam seluruh tingkatan ahli waris dan
perubahan sistem ashabah, yang didasarkan kepada ide persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan.[40]
Reformasi
materi waris tersebut menggunakan model atau bentuk extra-doctrinal reform[41]
yaitu dengan memasukan unsur-unsur dari luar hukum Islam. Unsur-unsur tersebut
diantaranya ide keadilan sosial sebagai prinsip revolusi yang tejadi di
Somalia, yang menjadi semangat dalam pembentukan hukumnya.
Somalia
juga meratifikasi hak asasi manusia internasional yang tidak menganut pembedaan
hak antara laki-laki dan perempuan.Persamaan hak ini mengilhami reformasi
materi kewarisan dalam hukum keluarga Somalia, sehingga dalam hukum waris
terdapat pemberian hak yang sama antara ahli waris laki-laki dan ahli waris
perempuan, sehingga terjadi perubahan besar dalam konsep pembagian waris di
semua tingkatan ahli waris.
Kedudukan
perempuan di Somalia mengalami perubahan-perubahan seiring dengan pergantian
rezim penguasa pemerintah yang berkuasa. Pada masa sebelum pemerintahan
sosialis Barre kaum perempuan tidak mempunyai hak yang sama dengan hak
laki-laki termasuk hak-hak di bidang sosial dan politik, bahkan perempuan tidak
mempunyai hak untuk mengikuti pemilihan umum. Sementara pada masa pemerintahan
sosialis Barre, perempuan diberikan hak yang sama dengan laki-laki, baik dalam
bidang sosial dan politik, termasuk pemberian hak waris yang sama dalam hukum
personal Somalia.
Penutup
Dari
paparan pembahasan diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Materi
hukum waris Somalia mengalami perubahan yang sangat drastis dalam semua tingkatan ahli warisnya,
dan terlihat berbeda, bahkan menyimpang, jika ditilik dari konsep kewarisan
Islam secara umum yang diterapkan di negara-negara muslim maupun
ketentuan-ketentuan dari mazhab Syafi'i yang dianutnya yang menyatakan bahwa
bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Sebagai bukti adalah
hukum waris Somalia
memberikan hak dan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan
di semua tingkataan ahli waris.
2. Pembaharuan
hukum Somalia di pengaruhi oleh beberapa sistem hukum yaitu Anglo-saxon, Eropa
Continental, hukum Islam dan hukum adat setempat, serta sistem pemerintahan
negara Somalia yang sosialis juga turut
mempengaruhinya..
3. Reformasi
materi hukum waris tersebut menggunakan model/bentuk extra-doctrinal reform
yaitu dengan memasukan unsur-unsur dari luar hukum Islam. Unsur-unsur tersebut
diantaranya ide keadilan sosial sebagai prinsip revolusi yang tejadi di Somalia,
yang menjadi semangat dalam pembentukan hukumnya.
4. Disamping
model extra-doctrinal reform diatas, reformasi hukum Somalia
tersebut juga menggunakan model regulatory yaitu pengaturan dan penertiban
administrasi, prosedur peradilan dan struktur pengadilan. Seperti adanya
pemisahan hukum perdata dan pidana (kriminal), tingkatan-tingkatan pengadilan
dari tingkat distrik, regional, banding dan pengadilan tingkat tinggi
dalam menyelesaikan kasus-kasus yang
menjadi jurisdiksi masing-masing pengadilan, termasuk di dalamnya kasus-kasus
waris..
[1] Hukum kewarisan Islam atau yang lazim disebut faroidh
dalam literatur hukum Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum
Islam yang mengatur bagaimana peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal kepada orang yang masih hidup. Hukum kewarisan digali dari
keseluruhan ayat hukum dalam al-Qur'an dan penjelasan tambahan yang diberikan
oleh Nabi saw dalam Sunnahnya. Menurut Amir Syarifuddin, ada lima asas, yang
berkaitan dengan peralihan harta
tersebut, yakni asas ijbari, bilateral, individual, asas keadilan, berimbang,
dan asas semata-mata akibat kematian. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum
kewarisan Islam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 17.
[2]Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang secara
langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kewarisan, seperti surat an-Nisa'
(4): 7,8,11, 12,13,14,33 dan 176 dan surat al-Anfal: 175. Namun yang secara
langsung berbicara tentang furudh
(bagia-bagian dalam waris) hanya ada tiga ayat dari surat an-Nisa' diatas, yaitu ayat 11,12 dan 176. Ayat 11
berbicara tentang bagian anak laki-laki dan perempuan (1/2, 2/3 dan perimbangan
bagian 1 banding 2), bagian ibu dan ayah (1/3 dan 1/6). Ayat 12 berbicara
tentang hak suami dan istri (1/2,1/4 dan 1/8) dan hak saudara laki-laki maupun
perempuan (1/6, dan 1/3). Ayat 176 berbicara tentang 2 hal, pertama
definisi kalalah (orang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak,
kedua, kewarisan saudara yang ditinggalkan oleh si Kalalah (1/2 dan
1/3). Hanya itulah kewarisan dalam al-Qur'an, tidak lebih dan kurang. Namun
ada beberapa orang yang kedudukannya
sebagai ahli waris tetapi tidak ditentukan bagiannya oleh al-Qur'an, yaitu
ayah, anak laki-laki dan saudara laki-laki. Dengan demikian mereka tidak
termasuk penerima furudh. Al-qur'an hanya menjelaskan kewarisan secara furudh
dan tidak menjelaskan kewarisan secara terbuka atau mereka yang berhak mewarisi
seluruh harta jika seorang diri dan mewarisi sisa harta jika bersama dzul
furudh lain. Mereka inilah yang disebut kewarisan ashobah di kalangan ahlu
Sunnah dan kewarisan kerabat di kalangan ulama Syi'ah. Amir Syarifudin, Hukum
…, h. 41.
[3]Negara pertama yang melakukan usaha pembaharuan hukum
keluarga di Dunia muslim adalah Turky, yakni dengan dikeluarkannya ottoman
law of family right ppada tahun 1917. Kemudian disusul Libanon dengan the
muslim family law ordinance No. 40/1919. Disusul Mesir Law No. 25/1920, diringi
Iran dengan Marriage Law-Nya tahun 1931, Yaman Selatan tahun 1942,
Yordania tahun 1951, serta Syria sekitar tahun 50-an. Lihat Tahir Mahmood,
Family Law Reform In The Muslim World (New Delhi, n.p, 1972), hlm. 17,48,74
dan 214; Kiran Gupta, Polygamy Law in The Modern Muslim State: A Study
Comparative Islamic And Comparative Law Review, vol.12 No.2 (Summer, 1992),hlm. 115-116 dan 129-130;
J.N.D. Anderson, Modern Trend in Islam: Legal Reform and Modernisation in
The Middle East, International and Comparative Law Quarterly, 20 (jan
1971), h. 6.
[4]Dalam penerapan hukum Keluarga ataupun hukum personal,
negara-negara Islam dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu, pertama,
negara Islam yang sama sekali tidak melakukan pembaharuan dan masih tetap
memberlakukan hukum keluarga sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh
mazhab yang dianut. Kedua, negara Islam yang sama sekali telah
meninggalkan hukum keluarga Islam dan sebagai gantinya mengambil hukum Sipil
Eropa. Ketiga, negara-negara yang berusaha memberlakukan hukum keluarga
Islam tetapi setelah mengadakan pembaharuan disana-sini. Lihat M.Atho' Mudzhar,
Membaca Gelombang Ijtihad: Antara tradisi dan Liberasi,(Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1998), hlm. 174-175; Tahir Mahmood, Family Law Reform in the
Muslim World, The Indian Law Institute, Tripathi, Bombay, 1971,pp.3-8.
Lihat juga Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,cet. 1 (Yogyakarta:
Gama Media, 2001), h. 134-136.
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet.keempat
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 355.
[6] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawarits Fi
Asy-Syari'ah al-Islamiyah Fi Doui al-Kitab wa As-Sunnah, (Kairo: Dar
al-Hadits,tt.), h. 33-34.
[7]At-Tabari, Tafsir At-Tabari, (Beirut: Dar
al-Fikr,1978), IV, h. 185.
[8]Muhammad Rasyid Ridlo, Tafsir Al-Manar, Cet.-3,
(Kairo: Dar Al-Fikr, tt), IV, h. 403.
[9]At-Tabari, Tafsir…, VI, h. 28.
[10]Terdapat dalam beberapa kitab hukum waris. Dinyatakan
juga dalam J. Anderson, Hukum Islam Di Dunia modern, Penerjemah: Machnun
Husein, Edisi 1,(Surabaya: Amar Press, 1990), h. 74.
[11]Al-Yasa Abu bakar, Ahli Waris Pertalian Darah:
Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab,
(Jakarta: INIS,1998), h. 139.
[12]Ibid, h. 143.
[13] Al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Pertalian Sedarah…,
h. 147.
[14] Ibid, h. 157.
[15]Muhammad Jawad al-Mughnyah, Fiqh Lima Mazhabi,
(Jakarta: Lentera Basritama, 199), Cet. IV, h. 550.
[16] Ibid, h.
550-551.
[17]David S. Power, Peradilan Kekayaan dan Politik
Kekuasaan: Kritik Historis Hukum Waris, alih bahasa Arif Maftuhin,
(Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 119.
[18] Ibid.
[19] A.G. Pringgidigno (dkk), Ensiklopedi Umum,
(Jakarta, Kanisius, 1973), h. 1232-1233.
[20] Ibid.
[21]John L. Esposito, dkk (ed), The Oxford Encyclopedia
of the Modern World, (New York: Oxford University, Press, 1995), IV, h.
152.
[22]Sosialisme Ilmiah adalah suatu pandangan hidup, yang menaruh minat yang kuat dan
perhatian yang serius terhadap tatanan sosial daaalam bidang politik, ekonomi,
dan sosial. Bukti empiris yang dapat dilihat dengan diberlakukan Sosialisme
Ilmiah sebagai ideologi negara Somalia oleh Presiden Mohamed Siyad Barre
adalah masuknya ide-ide pemegang
kekuasaan negara yang berasal dari luar Islam dalam melakukan politik hukum.
Salah satu diantara ide-ide itu seperti ide tentang keadilan sosial, yang tidak
menganut pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sehingga dalam hukum
waris Somalia misalnya, terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan yang
berbeda dari konsep fiqh tradisional
yang dianut oleh mayoritas disana. Yaitu dari bagian 1: 2 untuk bagian
laki-laki dan perempuan berubah menjadi 1: 1 (sama-sama mendapat bagian yang
sama). Selain ide tentang keadilan sosial diatas, Pemerintahan Siyad Barre juga
melakukan perubahan ilmiah dalam hal tradisi tulis-menulis. Bahkan tulisan
latin menjadi tulisan resmi negara Somalia. Hal ini sangatlah berbeda ketika
Somalia di pimpin oleh rezim sebelum Siyad Barre, dimana tradisi lisan sangat
terkenal dan kaya, bahkan dijaga kelestariannya secara dihafal tidak secara
dicatat. Dengan kata lain bahwa rezim sebelum Siyad Barre lebih menekankan pada
tradisi Oral dari pada tradisi Tulis, sedangkan rezim Siyad Barre menekan pada
kedua-duanya, bahkan lebih menekankan pada tradisi tulis. .Lihat John L.
Esposito dkk (ed), Encyclopedia Oxford dunia Islam Modern, (Bandung:
Mizan, 2001), V, h. 187.Lihat juga Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, cet.
Kedua (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 165.
[23] John L.Esposito,
The Oxford Encyclopedia …, h. 152.
[24] Ibid, h. 185.
[25]Hakim memutuskan perkara berdasarkan putusan hakim
sebelumnya. Hal ini terdapat dalam sistem Common Law. Lihat John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia…,
h. 185..
[26]Equity adalah norma-norma hukum yang ada pada abad
ke-13 dan diterapkan oleh badan Court of Charity, yang berfungsi
melengkapi kekurangan-kekurangan Common Law dan mengadakan koreksi
terhadap Common Law. Timbulnya equety disebabkan karena Common law
dalam memberikan putusannya tidak dapat memuaskan para pencari keadilan, bahkan
dalam beberapa hal tidak mampu mengadilinya, sehingga mereka mencari kesempatan
untuk meminta keadilan dari pihak pimpinan gereja/agamawan (Lord Chancellor),
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993),
h. 90-91.
[27] Legal System dalam http Somalia
[28]Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries,(New
Delhi: Academy of Law and Religion,1987), h. 254.
[29] Ibid.
[30]Legal System dalam http Somalia,"Legal
History" dalam http law in Somalia
[31] Tahir Mahmood, Personal…, h. 255.
[32]Disarikan dari artikel sub judul 'courts' dalam http
Somalia
[33]Tahir Mahmood, Personal…, h. 260.
[34]Ketentuan ini
berbeda bila dibandingkan dengan
ketentuan dalam Surat an-Nisa (4) ayat
:12 yang menyatakan bahwa suami mendapat separoh bagian apabila tidak
ada anak dan jika ada anak, suami mendapat bagian seperempat. Demikian juga
istri, mendapat seperempat jika tidak ada anak dan mendapat seperdelapan jika
ada anak. Lihat Rasyid Ridlo, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma'rifah,
tt),IV, h. 420-421
[35]Bila dibandingkan dengan ketentuan dalam Surat an-Nisa
(4) :11 terlihat berbeda bahkan bertentangan. Hal ini karena Surat An-Nisa'
ayat: 11 menyatakan bahwa anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak
perempan, sementara ketentuan hukum waris Somalia berdasarkan pasal 161
menyatakan bahwa antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama bagiannya..
[36]Ketentuan Pasal 163 ini terlihat sangat berbeda bila
dibandingkan dengan ketentuan dalam al-Qur'an Surat an-Nisa (4): 11 juga. Dari
ketentuan ayat tersebut dapat dipahami
bahwa ayah dan ibu masing-masing mendapat seperenam apabila ada anak. Akan tetapi,
jika tidak ada anak dan pewaris, hanya diwarisi oleh ibu-bapaknya, maka dalam hal ini ibu mendapat sepertiga dan
sisanya untuk ayah. Lihat Rasyid Ridha, Tafsir…, h. 415.
[37] Ketentuan Pasal 164 diatas juga terlihat sangat berbeda
bila dibandingkan dengan ketentuan dalam al-Qur'an Surat an-Nisa (4): 176. Dari
ketentuan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Ayat 176 berbicara tentang 2 hal, pertama
definisi kalalah (orang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak,
kedua, kewarisan saudara yang ditinggalkan oleh si Kalalah (1/2 dan
1/3).
[38] Tahir mahmoud, Personal Law…, h. 253.
[39] Wadad adalah
salah satu diantara kelompok masyarakat adat Somalia yang dikenal sebagai
kelompok (orang-orang) agamawan. Kelompok ini berfungsi sebagai penengah
konflik ketika terjadi konflik diantar sesama masyarakat Somalia dan umumnya
mereka memilih untuk menghindari kehidupan politik. Sedangkan sebagian yang
lain dari masyarakat Somalia disebut dengan Warior atau Waranleh
(pembawa tombak). Kelompok yang terakhir ini adalah para pejuang atau prajurit
yang pada umumnya ikut berperan dalam perpolitikan negara. Lihat John L.
Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press,1999), h.
91-92.
[40]Seperti bagian waris yang diberikan kepada pasangan
yang masih hdup dalam mazhab Sunny suami mendapat dua kali bagian istri, baik
dalam hal si meninggal mempunyai anak
atau tidak, namun dalam hukum waris Somalia pasangan yang masih hidup baik
suami ataupun istri mendapatkan bagian separoh jika tidak ada anak, dan
seperempat jika ada anak. Sementara dalam sistem ashabah (fi nafsih)
terdiri dari ahli waris perempuan dapat menjadi ashabah bin nafsih. Hal
ini dapat dilihat dalam kasus si meninggal hanya mempunyai seorang anak baik
laki-laki ataupun perempuan, dia menjadi ashabah yang mendapatkan
seluruh harta peninggalan. Pembaharuan konsep kewarisan Somalia ini selain
lebih di dasarkan kepada hukum adat yang berlaku turun temurun, juga nampak
lebih dekat dengan hukum waris mazhab Syi'ah Imamiyah. Sebagai contoh dalam
kasus bagian anak laki-laki dan perempuan mazhab tersebut menyamakan
kedudukan mereka dalam hak menerima
waris yaitu masing-masing mendapatkan separoh. Selain itu jika ahli waris hanya
anak perempan maka menurut mazhab Syi'ah Imamiyah, ia mendapatkan seluruh harta
waris meskipun ada saudara laki-laki dan ada kakek dari pihak ayah. Sementara
jika menurut mazhab empat, anak perempuan tersebut mendapat separoh jika
ada saudara laki-laki atau kakek. Lihat
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Basri Press,
1994), h. 333.
[41]Setidaknya ada dua model yang dikenal dalam kaitannya
dengan reformasi/ pembaharuan hukum, yaitu: (1) Intra –Doctrinal Reform dan (2)
Ekstra –Doctrinal Reform. Lihat Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (Bombay: N. M. Tripathi,
1972), h. 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar