Kamis, 20 Maret 2014

Keadilan Sebagai Tujuan Hukum

Keadilan Sebagai Tujuan Hukum
(Suatu Kajian Filsafat)
Oleh: Husin Anang Kabalmay


Pendahuluan
Isu hukum mempunyai posisi yang sentral dalam penegakan hukum. Kegagalan para pihak dalam membangun argumentasi untuk memecahkan isu hukum yang menjadi objek perkara mempunyai implikasi ditolaknya gugatan atau dakwaan tidak terbukti oleh hakim atau bahkan sebaliknya, yang seharusnya gugatan ditolak malah dikabulkan atau dakwaan yang yan seharusnya dapat ditolak dan tidak terbukti malahan terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga terdakwa harus dihukum. Begitu pula jika hakim salah membangun argumentasi yang menjadi alasan atau pertimbangan dalam putusannya juga berakibat gugatan yang semestinya ditolak tetapi dikabulkan atau dakwaan yang semestinya tidak terbukti tetapi dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan, atau sebaliknya.[1]  Jika hal ini terjadi, akan menimbulkan implikasi lebih jauh yakni terganggunya rasa keadilan secara yuridis atau paling tidak terganggunya kepastian hukum.
Di dalam ilmu hukum disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Menurut L.J. van Apeldoorn, tujuan hukum adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Dalam mernpertahankan ketertiban tersebut hukum harus secara seimbang melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat.[2]
Kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat tersebut menurut Roscoe Pound terdiri dari kepentingan pribadi (berupa keinginan seseorang mengenai hal-hal yang bersifat pribadi seperti perkawinan), kepentingan publik (berkaitan dengan kehidupan kenegaraan seperti hak pilih dalam pemilu. dan kepentingan sosial (menyangkut kehidupan sosial misalnya pemeliharaan moral).[3]
Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa dalam mempertahankan ketertiban masyarakat, hukum harus mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan, baik kepentingan pribadi, kepentingan publik maupun kepentingan sosial. Pengaturan keseimbangan berbagai kepentingan tersebut oleh van Apeldoorn dikatakan sebagai pengaturan yang adil. Jelasnya, bahwa keadilan hukum harus senantiasa mempertimbangkan kepentingan yang terlibat di dalamnya.
Asumsi di atas menarik dikaji sebab tujuan hukum secara umum adalah mewujudkan keadilan dalam masyarakat, sehingga bagi setiap, manusia, kapan, di mana dan dalam persoalan apapun senantiasa ingin diperlakukan secara adil. Keadilan merupakan kebutuhan yang fundamental. Karena itu, setiap manusia pasti mendambakan keadilan walaupun dia sendiri termasuk orang yang tidak adil.[4]
Persoalan keadilan erat kaitannya dengan supremasi hukum. Tanpa sikap adil. hukum tidak akan ditegakkan secara adil. Karena itu selain penekanan untuk memiliki pengetahuan tentang hukum yang komprehensif, juga ditekankan bahwa kehendak berlaku adil harus menghiasi jiwa penegak hukum baik hakim, jaksa maupun polisi. Bahkan hal ini mendahului pengetahuan tentang hukum.[5]
Kehendak berlaku adil mengantar manusia untuk tekun mempelajari kasus yang dihadapinya sehingga mengetahui hukum yang sebenarnya. Sebaliknya, pengetahuan hukum yang dimiliki, tanpa diimbangi dengan tekad berbuat adil, dapat dijadikan alasan untuk menyimbang dari keadilan.
Menyadari bahwa hukum merupakan inti peradaban dan cerminan jiwa bangsa, maka dibutuhkan pemahaman yang mendalam bagi penegak keadilan, agar dalam menetapkan hukum senantiasa mencerminkan keadilan masyarakat. Namun realitasnya hukum cenderung berpihak, baik berpihak kepada penguasa (hukum dijadikan sebagai kendaraan politik), kepada pemilik modal dan kelompok elit lainnya. Yang selalu dikorbankan adalah masyarakat kecil (proletar). Mereka termarginalisasi karena keterbatasan ilmu pengetahuan, dan keterampilan, serta tidak memiliki keberanian untuk menuntut hak-haknya. Kondisi demikianlah yang menyebabkan mereka diperlakukan secara tidak adil.[6]
Jika ditelaah secara kritis tentang keadilan sebagai tujuan hukum, maka menurut hemat penulis telah terjadi gap antara tujuan hukum yang seharusnya dengan realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.  Perwujudan keadilan seakan semakin jauh dari tujuan hukum. Keadilan hanya merupakan  “slogan” menghiasi ungkapan "supremasihukum". Di mana-mana terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia, perlakuan diskriminatif baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun status sosialnya, serta berbagai pelanggaran hukum lainya. Hukum kini dijadikan pihak penguasa sebagai alat untuk memperkokoh kekuasaannya. Inilah sikap penguasan telah jauh dari sikap adil. Jika hukum dipisahkan dengan sikap adil, maka hukum dapat "memihak" namun jika hukum dan sikap adil menyatu dalam diri para penegak keadilan, maka hukum "tidak dapat memihak" bahkan mampu memperlakukan semua masyarakat secara sama di depan hukum (equality before the law).
Berlaku adil merupakan perwujudan dari sifat takwa, dan ketakwaan adalah nilai dari ajaran setiap agama. Jika sifat takwa menjiwai dan melandasi setiap perbuatan manusia (termasuk aspek hukumnya), maka hukum akan tampil sebagai penegak keadilan seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dengan sabda: "Jika anakku Fatimah binti Muhammad mencuri maka akan kupotong tangannya."
Gambaran permasalahan tersebut di atas menurut penulis menarik untuk dikaji khusunya mengenai keadilan hukum sebab di samping keadilan hukum ada kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Dengan demikian pokok permasalahannya adalah akankah keadilan sebagai tujuan hukum dapat terwujud di dalam masyarakat?"

1.    Apakah Keadilan itu?
Untuk menjawab pertanyaan yang bernuansa filosofis tersebut, orang akan memberikan jawaban yang bervariasi sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Mengingat begitu luasnya makna keadilan, maka perlu dibatasi hanya pada persoalan hukum.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil berarti "tidak berat sebelah, memperlakukan atau menimbang sesuatu dengan cara yang sama dan serupa serta tidak pincang atau berpihak kepada yang benar; berpegang kepada kebenaran." [7] Karena itu adil menyangkut persoalan moral atau budi pekerti. Dengan demikian keadilan atau bersikap adil merupakan persoalan psikologis atau persoalan rohaniah.
Sayid Qutb merumuskan pengertian adil, bahwa:
Adil adalah suatu sikap yang mutlak, yang tidak menunjukkan kecondongan cinta atau marah, tidak mengubah ketentuan-ketentuan karena kasih sayang atau benci. Adil itu tidak mempengaruhi pandangan karena pertimbangan-pertimbangan kekeluargaan, tidak menaruh kebencian antara kaum-kaum. Tidak membedakan manusia karena bangsanya, turunannya, hartanya, pangkatnya dan seterusnya. Sedangkan yang satu dengan yang lain diperlakukan secara sama.[8]
Jika makna keadilan tersebut dihubungkan dengan ilmu pengetahuan hukum. maka keadilan merupakan suatu sikap hukum yang mengatur hubungan manusia secara harmonis dalam masyarakat melalui peraturan-peraturan, baik yang tertulis (undang-undang) maupun kebiasaan-kebiasaan (hukum adat).
Di dalam berbagai literatur hukum sering ditemukan pandangan Aristoteles tentang hukum dan keadilan yang terkenal dengan teori etis. Aristoteles membagi keadilan menjadi dua bagian, yaitu: keadilan distributif dan keadilan komutatif.[9]
a.    Keadilan distributif
Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya, bukan persamaan, namun memberikan yang sebanding. Contohnya, pasal 27 ayat (2) UUD 1945, bahwa tiap-tiap warga negara berhak alas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mendapatkan pekerjaan menurut hemat penulis adalah harus memenuhi syarat antara lain profesionalitas atau keterampilan.
Dengan demikian jika dipahami secara kritis, pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tersebut pada hakekatnya mewajibkan negara untuk memberikan bagian yang layak kepada warga negara Indonesia yang profesional dan memenuhi syarat dalam suatu pekerjaan atau jabatan.
b.   Keadilan Komutatif
Keadilan, komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya tanpa mempertimbangkan jasa masing-masing orang. Kadilan komutatif memegang peranan penting dalam persoalan tukar-menukar barang dan jasa yang menuntut persamaan antara apa yang dipertukarkan.[10]
Dari uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa keadilan distributif merupakan pembentuk undang-undang untuk diperhatikan dalam menyusun undang-undang. Keadilan distributif lebih bersifat proporsional. Sedangkan keadilan komutatif merupakan urusan hakim. Hakimlah yang memperhatikan hubungan perorangan yang mempunyai kedudukan pt-osesuil yang sama tanpa membeda-bedakan[11]  antara satu sama lain.
Aristoteles terkenal dengan teori etisnya, karena meletakkan hukum di atas landasan moral. Menurut teori etis, Hal ini dapat dibuktikan di dalam masyarakat, bahwa apabila hukum dipisahkan dari nilai-nilai moral, maka yang akan terjadi adalah kekerasan dan keserakahan. Karena itu, dalam setiap produk hukum setidaknya harus dipertimbangkan aspek moral yang bersumber pada nilai-mlal religius, agar keadilan sebagai tujuan hukum dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat.
2. Tujuan Hukum
Manusia senantiasa membutuhkan hukum, dalam setiap ruang dan waktu. Kebutuhan manusia terhadap hukum sejalan dengan perkembangan manusia itu sendiri (ubi societes ibi ius) karena hukum selalu memberikan perlindungan kepada manusia demi terwujudnya keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan tujuan hukum.
Dalam literatur ilmu hukum dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum. yaitu teori etis, teori utilistis dan teori campuran. Menurut teori etis bahwa hukum semata-mata bertujuan untuk keadilan. Isi hukum ditentukan oleh kesadaran etis masyarakat mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.[12] Dengan kata lain, menurut teori etis hukum bertujuan mewujudkan keadilan.
Hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subyektif (subyektif untuk kepentingan kelompokya, golongan dan sebagainya) melebihi norma-norma lain. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat. yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan misalnya orang tua dan anaknya, majikan dan buruh, hakim dan pencari keadilan, pemerintah dan warganya.
Pada umumnya keadilan merupakan penilaian yang hanya dilihat dari pihak yang menerima perlakuan saja; para yustisiabel (pada umumnya pihak yang dikalahkan dalam perkara perdata) menilai putusan hakim tidak adil, buruh yang mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK) merasa diperlakukan tidak adil oleh majikannya.[13] Jadi, penilaian tentang keadilan ini pada umumnya hanya ditinjau dari satu pihak saja (pihak yang menerima perlakuan).
Apakah pihak yang melakukan tindakan atau kebijaksanaan tidak dapat menuntut tindakan atau kebijaksanaannya dinilai adil? Kalau kebijaksanaan pemerintah telah dipertimbangkan masak-masak bahwa hal itu demi kepentingan umum (publik), tetapi ada warganegara yang tidak sepenuhnya terpenuhi kebutuhannya, apakah kebijaksanaan pemerintah tersebut dapat dinilai tidak adil? Kalau buruh ternyata telah melakukan tindakan yang merugikan perusahaan dan kemudian majikan memutuskan hubungan kerja terhadap buruh yang bersangkutan, apakah tindakan majikan itu tidak adil? Keadilan kiranya tidak harus dilihat dari satu pihak saja akan tetapi harus dilihat dari dua pihak.
Jika dikatakan bahwa hukum itu bertujuan mewujudkan keadilan itu berarti bahwa hukum itu identik dengan keadilan. Namun sebenarnya hukum tidaklah identik dengan keadilan. Peraturan hukum tidaklah selalu mewujudkan keadilan, misalnya, peraturan hukum lalu lintas. Mengendarai kendaraan di sebelah kiri jalan di Indonesia tidak berarti adil, sedangkan mengendarai kendaraan sebelah kanan jalan tidak berarti tidak adil. Itu tidak lain agar lalu lintas berjalan teratur, lancar, sehingga tidak terjadi tabrakan dan dengan demikian kepentingan manusia terlindungi.
Telah menjadi pembawaan hukum bahwa hukum itu menciptakan peraturan-peraturan yang mengikat setiap orang dan karenanya bersifat umum. Ini berarti hukum itu bersifat menyamaratakan; setiap orang dianggap sama. Suatu tata hukum tanpa peraturan umum yang mengikat setiap orang tidak mungkin ada. Tanpa adanya peraturan-peraturan umum berarti tidak ada kepastian hukum. Kalau hukum menghendaki penyamarataan, tidak demikian dengan keadilan. Untuk memenuhi keadilan peristiwanya harus dilihat secara kasuistis.
Sedangkan menurut teori utilistis, hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Tujuan hukum menurut teori ini adalah manfaat dalam menghasilkan kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak. Tokohnya adalah Jeremy Bentham.[14]
Adapun teori campuran dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum, adalah ketertiban. Di samping ketertiban, tujuan hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. Sedangkan menurut Purnadi dan Soerjono Soekanto, tujuan hukum adalah kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban antar pribadi dan ketenangan intern pribadi.[15]
Dengan demikian kehidupan manusia tanpa hukum merupakan kehidupan yang tidak bernilai. Suatu kehidupan dianggap bermakna apabila ditunjang oleh hukum dan hukum tersebut berlaku secara universal dan abadi. Menurut Friedmann, sejarah tentang hukum alam adalah merupakan apa yang dinamakan absolute justie (keadilan abadi).[16]
Untuk mencapai keadilan abadi yang menjadi tujuan hukum, maka hukum hendaknya berperan dalam mengatur berbagai kepentingan baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya) dalam masyarakat. Misalnya, dalam persoalan politik, tujuan utama politik hukum adalah menjamin keadilan dalam masyarakat. Melalui hukum, pemerintah harus mengimbangi kepentingan umum dengan kepentingan-kepentingan lainnya. Dengan kata lain. tugas utama pemerintah suatu negara ialah mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial dapat terwujud dalam masyarakat jika hak-hak manusia dihormati, serta pelimpahan wewenang sesuai keahlian serta pemerataan ekonomi, pendidikan dan bidang-bidang lainnya.[17]
Secara umum tujuan hukum, adalah untuk mewujudkan keadilan, memberikan kemanfaatan dan mewujudkan kepastian hukum.[18] Namun kadang-kadang tujuan hukum yang begitu ideal disalahgunakan sehingga hukum dijadikan sebagai kendaraan politik untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan, hukum dijadikan alat untuk menindas kelompok lemah serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Kini hukum seakan jauh dari tujuannya untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Upaya mengembalikan hukum pada tujuannya menurut Lawrence Meir Friedmann, ada tiga komponen yang harus diperbaiki, yaitu:
1.      Substansi (substance) hukum atau materi hukum artinya setiap produk hukum hendaknya dapat memberikan perlindungan dan menjamin hak-hak masyarakat terutama kelompok marjinal.
2.      Struktur (structure) hukum, atau aparat penegak hukum artinya para penegak hukum (hakim, jaksa dan polisi) hendaknya bersikap arif dalam menegakkan hukum, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
3.      Kultur hukum (legal culture), atau budaya hukum artinya setiap produk hukum agar selalu mempertimbangkan hokum dan budaya yang hidup dan terpelihara di dalam masyarakat.[19]
Jika ketiga komponen tersebut di atas dapat diperbaiki, maka perlindungan masyarakat sebagai tujuan hukum dapat terwujud dalam realitas
kehidupan sehari-hari.
Hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat: (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (elemen in ,strumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan penegakan hukum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian, kejaksaan, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibatkan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law information management) sebagai kegiatan penunjang.[20]
Pada dasarnya hukum senantiasa berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Pada waktu tertentu hukum menjadi pengawas dan pelindung masyarakat, sehingga tercipta keamanan, ketenteraman dan keadilan sekaligus tujuan hukum terwujud dalam kehidupan nyata. Pada gilirannya masyarakat terhindar dari tindak kekerasan dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Menurut penulis, kondisi demikian hanya dapat terwujud jika hukum ber1andaskan pada moral yang bersumber pada nilai-nilai religius.
Namun pada kurun waktu yang lain, hukum menyimpang jauh dari tujuannya, bahkan bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri jika hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan oleh para penguasa serta hukum dijadikan sebagai kendaraan politik oleh para politisi. Dalam kondisi demikian masyarakat menjadi korban, yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Apabila masyarakat kecil (lemah) melakukan pelanggaran dihukum, sedangkan para penguasa dibiarkan bebas walaupun melakukan berbagai pelanggaran hukum, termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang merugikan dan menyengsarakan masyarakat.
Melalui informasi berbagai media massa baik media elektronik (televisi) mapun media cetak (koran) dapat dilihat berbagai peristiwa yang memprihatinkan. Masyarakat kecil yang dijebloskan ke dalam tahanan karena dituduh telah mencuri beberapa buah coklat sedangkan para koruptor kelas kakap yang telah merampok uang rakyat dalam jumlah milyaran bahkan triliyunan rupiah hidup bebas, tidak disentuh oleh hukum. Kasus Edy Tansil yang merugikan negara 6,7 triliyun pada tahun 1994 justru bisa melarikan diri dari penjara dan hidup bebas di luar negara hingga sekarang merupakan salah satu contoh konkrit bahwa hukum lebih berpihak kepada orang kaya, penguasa. Demikian pula kasus ruang tahanan mewah yang ditempati para terpidana kasus korupsi kelas kakap menjadi bukti kuat bahwa hukum seakan­akan hanya berkuasa dan berwibawa di hadapan rakyat kecil, namun hukum menjadi lemah di hadapan para penguasa dan konglomerat.
Kondisi yang memprihatinkan ini lebih disebabkan oleh mentalitas para penegak hukum di tanah air. Sebab sebaik apapun aturan hukum yang diproduk para pembuat hukum, namun jika aparat penegak hukum bermentalitas korup, maka tujuan hukum sulit diwujudkan secara maksimal.
Dalam kaitan ini Jimly Asshiddiqie menawarkan beberapa langkah perbaikan penegakan hukum di tanah air. Menurutnya, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri­sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinstitusionalisasikan secara rasional dan impersonal (institutionalized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi).[21] . (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) konsultan hukum, (iv) advokat, (v) notaris, (vi) pejabat pembuat akta tanah, (vii) polisi, (viii) jaksa, (ix) panitera, (x) hakim, dan (xi) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Dengan demikian untuk menciptakan suatu hukum yang dapat menjamin dan melindungi hak-hak seluruh anggota masyarakat, hukum itu harus lahir dan sesuai dengan budaya masyarakat itu sendiri, serta dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki kualitas iman dan takwa di samping profesionalitas para aparat penegak hukum.


[1] Lihat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hokum (Cet. III,- Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 57-58.
[2] Ibid, h. 58.
[3] Edgar Boderheimer, Jurisprudence: The Method and Philosopliv of Law (Cambridge -'—a,:hUsetts: Harvard University Press, 1962), h. 11 I .
[4] Chatib Rasyid, "Aktualisasi Hukum Islam", Millibar Hukuni, No. 27 Tahun VII, 1996, h. 67.
[5] M. Quraish Shihab, Secercah Caha-vu Ilahi (Bandung: Mizan, 2000), h. 44.
[6] Mura P. Hutagalung, Hukum Islam dalam Era Pcmhangunan (Jakarta: Ind Hill Co, 1985), h. 30.
[7] Depar-Lemen Pendidikan dan Kebudayaan R1. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. 111; Jakarta: Dalai Pustaka, 1996), h. 7.
[8] Hutagalung. op.cil., h. 33.
[9] C.S.T. Kansil, Penganlar Ilmu Hukum dan Tau Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 42-43.
[10] L.J. van Apeldoorn, Inleiding tot de Sardis van het Nederlandse Recht, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Penganfar Ilmu Hukum (Cet. XXV: Jakarta: Pradnya Paramita, 2000), h. 11-12.
[11] ;Sudikno MertokUSLIMO, Mengenal Hukum Sualu Penganlar, Edisi IV (Cet. 11-, Yogyakarta: I 1- i bert% . 1999), h. 73.
[12] van Apeldoorn. op. cit., h. 12.
[13] -'Sudikno Mertokusumo, op.cit., h. 71-72..
[14] " Ibid., h. 73-74.
[15] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Seokanto, Perihak Kaedah Hukum (Bandung: Alumni, 1978), h. 67.
[16] "Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsajal Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990), h. 27-28.
[17] "Theo Uijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 118.
[18] RLISH Effendy, el al., Teori Hukum (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1991), h. 79.
[19] Ahmad Ali, "Teori Hukum," Materi Kuliah (tertanggal 16 Mei 2001).
[20] -Jinfly Asshiddigie, "Pembangunan Ilukum dan Penegakan Ilukurn di Indonesia," (Makalah) pada Sara Seminar "Menyoal Moral Penegak Hokum" dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hokum Universitas C adJ ah %I ada tanggal 17 Februari 2006.
[21] Untuk sementara ini,para politisi sebagai legislator di lembaga perwakilan memang belum dapat ';hat,n,orikan sebagai profesi yang tersendiri. Akan tetapi, di lingkungan sistem politik yang sudah mapan pecan-pecan profesional telah terbagi sangat ketat, jabatan sebagai anggota parlemen juga dapat borkembang makin lama makin profesional. Politisi lama kelamaan menjadi profesi karma menjadi pilihan hidup profesional dalam masyarakat. Ibid.

Tidak ada komentar: