Konsep Ta’abbudi Dan Ta’aqquli Dan
Implikasinya
Terhadap
Perkembangan Hukum Islam
Abstrac
Konsep ta’abbudi berkaitan dengan urusan ibadah
mahdah,dan ta’aqquli berkaitan dengan urusan muamalah dan ibadah gairu mahdah.
Ta’abbudi bersifat mutlak, statis dan keberadaannya bukan didasarkan kepada
kemaslahatan lahiriah semata sedangkan ta’aqquli bersifat relatif, tidak statis
dan keberadaannya didasarkan kepada kemaslahatan bagi manusia (rasional). Namun
demikian pada setiap ta’aqquli pasti terkandung nilai-nilai ibadah. Sebaliknya,
pada setiap ta’abbudi terkandung kemaslahatan bagi manusia. Kedua konsep ini memiliki
kontribusi besar dalam perkembangan hukum Islam.
Keyword: ta’abbudi,
ta’aqquli, ibadah, dan kemaslahatan.
Pendahuluan
Al-Qur’an dan hadis sebagai, sebagai sumber utama
hukum syariat memuat dua aspek dari
din al-Islām, yaitu a) keyakinan
dasar atau pokok-pokok agama (
usul al-dỉn), dan b) hukum-hukum syariat atau
cabang-cabang agama (
furu al-dỉn).
Selaras dengan klasifikasi ini Abdul Wahhab Khallaf membagi kandungan al-Qur’an
menjadi tiga bagian besar:
aqidah, khuluqiyyah, dan
amaliyah.
Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan.
Khuluqiyyah berkaitan
dengan etika atau akhlak. Sedangkan
amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek
hukum yang timbul dari ucapan dan perbuatan manusia.
Materi hukum Islam itu sendiri dibagi menjadi dua
bagian besar: ibadah dan muamalah.
Ibadah berisi aturan-aturan tentang relasi/komunikasi antara manusia dengan
Tuhannya, sekalipun tetap ada dimensi-dimensi kemanusiaan dan sosialnya.
Sedangkan muamalah berisi aturan-aturan tentang interaksi antara sesama manusia
atau dengan alam sekitarnya, walaupun tetap ada dimensi ketuhanannya.
Dalam kaitan ini al-Qur’an hanya memberikan prinsip dasarnya saja, sedangkan
penjelasan (
bayan)nya oleh Rasulullah saw dalam hadisnya.
Aturan-aturan hukum syariat tersebut pada hakekatnya
harus ditaati oleh umat Islam. Dalam mentaati dan melaksanakan aturan hukum
syariat tersebut tidak selamanya didasarkan kepada pengetahuan manusia terhadap
tujuan hukum itu. Artinya, bahwa akal manusia terkadang tidak mampu memahami
alasan dan tujuan suatu aturan hukum syariat yang harus ditaati dan
dilaksanakannya. Ketaatan manusia kepada aturan hukum syariat (Islam) tersebut
tidak selamanya didasarkan kepada kemaslahatan yang akan diperoleh manusia
dalam kehidupan di dunia. Walaupun sebenarnya aturan hukum syariat tersebut
pasti mengandung kemaslahatan bagi manusia, hanya saja manusia belum
memahaminya.
Karena itulah menurut sebagian ulama, bahwa
berdasarkan alasan-alasan dan tujuan-tujuan hukum, hukum syariat dapat dibagi
menjadi empat kategori, antara lain:
1)
Hukum-hukum yang alasan dan tujuannya dapat diketahui tanpa membutuhkan keahlian
khusus, seperti membantu orang yang membutuhkan adalah sangat dianjurkan,
membunuh adalah haram, membayar zakat adalah wajib.
2)
Hukum-hukum yang alasan dan tujuannya telah diterangkan dalam al-Qur’an dan
hadis seperti minuman khamar itu haram, karena menjadi salah satu penyebab
utama kejahatan karena saat mabuk tidak bisa mengendalikan dirinya, riba itu
dilarang, karena mengarah kepada kehancuran masyarakat miskin dan seluruh
kekayaan hanya akan berputar di sekitar orang-orang kaya.
3)
Hukum-hukum yang alasan dan tujuannya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan
hadis, namun cakrawala pikir manusia dapat memahami tujuan dan manfaat dari
hukum-hukum tersebut. Misalnya khitan, yang menurut kedokteran dapat
mencegah munculnya kanker pada penis di kemudian hari, dan isterinya dapat
terhindar dari kanker leher rahim.
4)
Hukum-hukum yang alasan dan tujuannya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan
hadis, serta pengetahuan manusia pun tidak mampu mengetahuinya. Misalnya, salat
zuhur, asar, isya masing-masing empat rakaat sedangkan magrib dan subuh
masing-masing tiga rakaat dan dua rakaat.
Permasalahannya, adalah apakah alasan-alasan hukum
syariat yang telah ditemukan oleh pengetahuan manusia itu bisa dianggap sebagai
alasan sebenarnya (ratio legis) diberlakukannya hukum-hukum tersebut? Apakah
ketaatan manusia terhadap ketentuan hukum syariat tidak didasarkan kepada
alasan rasional dari hukum syariat itu, dan lebih kepada ketaatan, ketundukan,
kepatuhan terhadap Tuhan semata? Jika memang demikian, apakah hal itu berlaku
dalam bidang ibadah dan muamalah?
Menarik dicermati pula adalah ketentuan membersihkan bekas
jilatan anjing dengan tanah, apakah harus tetap ditaati di era modern ini
walaupun zat pembersih/deterjen justru lebih bersih dibandingkan dengan
menggunakan tanah. Begitu pula membasuh anggota wudu sebanyak 3 kali sebagai
sunat wudu, serta berzikir (membaca tasbih, tahmid, takbir) setelah salat fardu
masing-masing 33 kali. Apakah ketentuan-ketentuan syariat tersebut selamanya
harus ditaati apa adanya, tanpa bisa diintervensi oleh akal dalam memahami makna
filosofisnya?
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tulisan
ini berupaya mendalami konsep ta’abuddi dan ta’aqquli, baik
karakteristik, objek maupun implikasinya terhadap perkembangan hukum Islam
Pengertian Ta’abbudi dan Ta’aqquli
Ta’abbudi berasal dari bahasa Arab,
sebagai
masdar dari
fi’il ta’abbada-yata’abbadu-ta’abbudan yang
berarti penghambaan diri, ketundukan dan kerendahan diri
kepatuhan, penyembahan, ketaatan kepada Allah swt. Secara terminologi,
ta’abbudi
adalah ketentuan hukum di dalam nas (al-Qur’an dan sunnah) yang harus
diterima apa adanya dan tidak dapat dinalar secara akal. Sedangkan
ta’aqquli,
adalah ketentuan nas yang masih bisa diinterpretasi.
Menurut al-Syatibi,
ta’abbudi adalah “hanya mengikuti
apa yang telah ditetapkan oleh
Syảri,”
atau “sesuatu yang secara khusus menjadi hak Allah.”
Sedangkan menurut Muhammad Salam Madkur,
ta’abbudi adalah semata-mata
mengabdi kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dari al-Qur’an
maupun Sunah Rasul, tidak berubah, mengurangi atau menambahnya.
Dengan demikian dalam masalah
ta’abbudi,
manusia hanya menerima ketentuan hukum syariat apa adanya dan melaksanakannya
sesuai dengan ketentuan tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa ketentuan nas
yang bersifat
ta’abbudi, adalah
gair ma’qul al-ma’na, atau mutlak,
tidak membutuhkan nalar dan tidak dapat ditawar-tawar. Tegasnya, bahwa dalam
bidang ibadah terkandung nilai-nilai
ta’abbudi (gairu ma’qulah al-ma’na),
dimana manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah
disyariatkan.
Dalam bidang ini tidak ada pintu ijtihad bagi manusia untuk merubah
kaifiyat
(tata cara) pelaksanaan ibadah
mahdah, berbeda dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam salat dan haji misalnya. Demikian juga
manusia tidak bisa merubah waktu-waktu pelaksanaan ibadah
mahdah baik
salat lima waktu, puasa Ramadan, maupun haji ke waktu-waktu di luar yang telah
disyariatkan.
Makna
ta’abbudi di atas pada dasarnya selaras
dengan hadis Nabi saw bahwa:
man ‘amila ‘amalan laysa ‘alaihi amrunả fahuwa
raddun
(‘barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan (ibadah) yang tidak kami
perintahkan, maka dia tertolak’). Demikian juga diisyaratkan dalam QS.
Al-Bayyinah (98): 5
!$tBur
(#ÿrâÉDé&
wÎ)
(#rßç6÷èuÏ9
©!$#
tûüÅÁÎ=øèC
ã&s!
tûïÏe$!$#
uä!$xÿuZãm
‘Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah,
dengan ikhlas mentaatinya semata-mata karena (menjalankan)agama…’
Sehingga
muncul kaidah fiqh bahwa:
الأصل في لإبا د ة البطلا ن حتى يقوم الد ليل على
لأمر
‘Pada
dasarnya suatu ibadah batal (tidak sah) dilakukan sehingga ada dalil yang
memerintahkannya.’
Dari beberapa nas yang dikemukakan di atas, dapat
dipahami bahwa dalam bidang ibadah, manusia bersifat pasif dalam arti tidak
bisa menetapkan sesuatu ibadah hanya berdasarkan nalar rasionya. Suatu ibadah
harus didasarkan kepada wahyu atau nas baik al-Qur’an maupun hadis Nabi saw.
Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai ketentuan ibadah dalam syariat Islam, yang
pada umumnya tidak bisa diketahui rahasianya, seperti salat zuhur, asar, dan
isya masing-masing empat rakaat, salat magrib tiga rakaat dan salat subuh hanya
dua rakaat. Mengapa jumlah rakaatnya berbeda-beda? Akal manusia belum, bahkan tidak
akan mampu mengetahui alasan rasional dari jumlah rakaat masing-masing salat
lima waktu tersebut.
Memang secara rasio ada sebagian ibadah yang dapat
diketahui rahasia dan manfaatnya bagi manusia, seperti zakat, puasa. Jadi,
dalam ibadah terkandung juga nilai rasional walaupun dengan kadar yang lebih
kecil dibanding dengan nilai rasional pada
ta’aqquli. Dalam ibadah,
unsur
ta’abbudi lebih dominan dari unsur
ta’aqquli. Jelasnya,
dasar pelaksanaan ketentuan hukum dalam ibadah
mahdah, lebih sebagai
tuntutan ibadah semata (
li al-ta’abbud) tanpa harus bertolak dari
dimensi maknawi (
ta’aqqulat)nya.
Sedangkan
ta’aqquli berasal dari
fi’il
ta’aqqala- yata’aqqalu- ta’aqqulan, yang berarti sesuatu yang masuk akal
(rasional).
Jadi,
ta’aqquli adalah bersifat
ma’qul al-ma’na, yaitu
hukum-hukum yang memberi peluang dan kemungkinan kepada akal untuk memikirkan,
baik sebab maupun
illat ditetapkannya. Kemungkinan ini diberikan agar
manusia (
mukallaf) dapat memetik kemaslahatan dari hukum-hukum Allah,
baik bagi bagi individu maupun publik.
Jadi, nas-nas yang bersifat
ta’aqquli adalah
ma’qul al-ma’na, atau relatif, sehingga membutuhkan pemikiran dalam
pelaksanaannya agar ketentuan hukumnya dapat beradaptasi dengan perkembangan
situasi dan kondisi masyarakat di setiap zaman dan tempat.
Sehingga
al-Islām sālihun likulli zaman wa makan.
Perbedaan konsep
ta’abbudi dan
ta’aqquli tersebut
hanya terletak pada kemungkinan akal manusia dapat menalar makna maupun
hikmah-hikmah hukum yang terkandung di dalamnya. Pada pada hakekatnya, hukum
yang
ma’qul al-ma’na sendiri tidak terlepas dari kerangka
ta’abbudi dan
ta’aqquli dalam arti luas.
Makna
ta’abbudi dan
ta’aqquli di atas
berkaitan dengan asumsi, bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai hamba yang
harus patuh kepada-Nya. Untuk itu manusia harus melakukan perbuatan yang
menunjukkan kepatuhannya kepada Tuhan. Kepatuhan manusia kepada tuhan dapat
dibedakan dalam dua bentuk.
Pertama, ibadat yang fungsi utamanya
mendekatkan manusia kepada tuhan, yakni beriman kepada-Nya dan segala
konsekuensinya berupa ibadat yang biasa disebut
mahdah. Kedua,
muamalah yang berlaku menurut tradisi kebiasaan (adat), yang merupakan tulang
punggung bagi kemaslahatan hidup manusia, tanpa ini kehidupan manusia akan
rusak binasa. Jika yang terakhir ini bersifat duniawi dan dapat dipahami oleh
nalar manusia (
al-ma’qul al-ma’na), maka yang pertama tadi bersifat
ukhrawi dan merupakan kewenangan mutlak Tuhan (
haqq Allah).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan, bahwa ta’abbudi
adalah segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas (al-Qur’an dan
hadis) yang harus ditaati oleh seorang hamba sebagai wujud penghambaan dan
kepatuhan kepada Allah semata, bukan karena alasan rasional, sehingga bersifat
mutlak. Namun dalam ibadah tertentu, objeknya bisa mengalami perluasan seperti
objek zakat bisa diperluas objek zakat yang telah ada di zaman klasik, sesuai
dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Karena itu dalam ibadah tetap
terkandung unsur rasio serta dimensi kemaslahatan bagi manusia (dimensi ta’aqqulat).
Sedangkan ta’aqquli adalah segala ketentuan
hukum Islam ketentuan nas (al-Qur’an dan Hadis) yang diterima dan ditaati oleh
seorang hamba karena ada maslahatnya bagi manusia berdasarkan nalar rasio
manusia selaras dengan kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia. Sehingga
bersifat relatif sesuai perubahan zaman, tempat dan situasi. Namun demikian
hukum-hukum yang bersifat ta’aqquli tetap mengandung dimensi ibadah.
Karena itu muamalah tidak terlepas dari kerangka ta’abbudi.
Objek Ta’abbudi
dan Ta’aqquli
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami, bahwa
hukum Islam dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu yang bisa dinalar akal
(rasio) manusia dan yang tidak bisa dinalar akal (rasio) manusia. Dalam kaitan
ini menurut hasil penelitian ulama, jumlah nas yang bisa dinalar akal manusia
jauh lebih banyak dibanding nas yang tidak bisa dinalar rasio. Tegasnya, bahwa
hukum Islam, ada yang masuk dalam wilayah ta’abbudi dan ada sebagian
lainnya masuk dalam wilayah ta’aqquli.
Objek
ta’abbudi dan
ta’qquli menjadi
kajian ulama usul fiqh. Dalam kaitan ini ulama usul fiqh telah konsensus, bahwa
hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah ibadah
mahdah
(murni) dan hal-hal yang
daruriyyah
termasuk dalam objek
ta’abbudi.
Umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan interpretasi terhadap nas
dan hukum-hukum yang bersifat
ta’abbudi, seperti jumlah rakaat salat
lima waktu, puasa Ramadan, kewajiban zakat, dan haji. Semua ketentuan itu
bersifat mutlak dan manusia hanya melaksanakannya saja sesuai dengan nas
(al-Qur’an, hadis).
Demikian juga hukum-hukum
daruriyyah yang
merupakan kebutuhan primer manusia untuk mempertahankan eksistensinya dan
mengembangkan fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam hal ini ada lima
aspek
daruriyyah yang harus dipelihara umat manusia, yaitu agama, jiwa, harta,
akal, dan keturunan.
Semua ketentuan nas dalam aspek ini bersifat
ta’abbudi, tidak
membutuhkan interpretasi akal manusia untuk memodifikasi atau mengubahnya.
Di samping itu beberapa aspek dalam hukum keluarga (al-ahwal
al-syakhsiyyah) juga ada yang termasuk dalam kategori ta’abbudi, di
antaranya ketentuan batas talak yang dapat dirujuk oleh suami hanyalah dua kali
(QS. 2: 229), ketentuan tentang batas iddah atau masa tunggu seorang
isteri yang ditalak suaminy (QS. 2: 228, dan 234; QS 65: 4), sanksi kaffarat
terhadap pelaku zihar dan ila’ (QS. 2: 226; 58: 2-4). Semua ini
dijelaskan Allah secara gamblang dan terperinci. Sehingga ketentuan ini tidak
membutuhkan ijtihad.
Termasuk juga dalam objek ta’abuddi adalah
hal-hal yang berkaitan dengan akhlak yang bersifat permanen, misalnya kewajiban
anak berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban tersebut tidak dapat berubah
walau salah satu atau kedua orang tuanya telah murtad sekalipun. Dalam kaitan
ini Allah menegaskan dalam QS. al-Isra (17): 23
4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
‘Dan Tuhanmu telah
memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik
kepada ibu bapak. Jika salah satu di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.’
Kewajiban anak untuk berbakti kepada kedua
orangtuanya itu merupakan salah satu bentuk akhlak yang bersifat permanen atau qat’i
sebab tidak terbuka peluang anak boleh durhaka kepada kedua orang tuanya.
Kalaupun antara anak dan orang tua berbeda keyakinan, namun perbedaan agama itu
hanya mempengaruhi hubungan perdata- seperti perwalian dan kewarisan- namun
hubungan anak dengan orang tua tidak berubah karena di antara keduanya terdapat
hubungan darah (keturunan).
Namun demikian dalam penerapan nas yang qat’i mengalami
perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Dalam kaitan sebagian sahabat tidak
menerapkan tekstual hukum yang qat’i sebagaimana dilakukan Umar bin Khattab
yang akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.
Para sahabat juga berbeda pendapat tentang objek
ta’abbudi.
Pada masa Nabi saw sebagian kecil sahabat seperti Bilal bin Abi Rabah (W.20
H/641 M) menganggap semua perintah dan larangan Nabi saw, baik dalam masalah
ibadah maupun
muamalah duniawi adalah
sunnah yang harus ditaati (
ta’abbudi bi al-nusus). Namun sebagian besar
sahabat memandang objek
ta’abbudi hanyalah yang berkaitan dengan masalah
ibadah
mahdah. Mereka tidak terikat pada nas-nas yang berkaitan dengan
muamalah duniawi. Karena itu mereka menggunakan nalar dalam mencari cara
pelaksanaan yang lebih cocok dengan kondisi mereka. Pertimbangan utamanya
adalah kepentingan masyarakat dan nilai keadilan, dengan tokoh utama dalam hal
ini adalah Umar bin Khattab (w.23 H/644M).
Dalam beberapa masalah, Umar tidak melaksanakan nas
yang secara tegs disebutkan oleh Allah dan Nabi saw, karena kasus yang
dihadapinya tidak sama dengan yang dimaksud ayat atau terdapat syubhat
(pertentangan dua dalil dalam kasus yang sama). Atas dasar ini, illatnya sudah
berbeda, yang berakibat hukumnya pun berbeda. Umar berijtihad sendiri sesuai
dengan tuntunan Islamyang saat itu sudah meluas dengan tetap menjadikan illat
sebagai dasar pertimbangan. Misalnya, Umar tidak membagi tanah rampasan perang
kepada tentara muslim, tidak memberi zakat kepada muallaf (karena menurutnya
mereka tidak termasuk golongan muallaf yang disebutkan dalam QS. al-Taubah: 60)
dan menetapkan talak tiga yang dijatuhkan sekaligus oleh seseorang sebagai
talak tiga, bukan talak satu sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi saw. Dalam
hal ini Umar memandang bahwa kasus-kasus yang muncul di zamannya banyak yang
tidak cocok dengan substansi yang dikandung nas. Umar lebih memperhatikan
tujuan/hikmah diturunkannya syariat Islam (maqảşid al-syarǐ’ah) daripada
makna lahir nas itu sendiri.
Ali bin Abi Talib (w. 40H/661M) juga pernah melakukan kebijakan yang tidak sejalan dengan
makna tekstual nas. Dia tidak mendera orang yang meminum khamar dengan 40 kali
dera, seperti yang dilakukan Nabi saw, tetapi 80 kali dera. Sebab itu ia
melakukan ijtihad dengan menyamakan orang yang meminum khamar dengan pelaku qazaf
yang menurutnya peminum khamar
karena telah kehilangan kesadarannya- sering berkata dusta. Ini sama dengan
orang yang berdusta menuduh orang lain berzina. Karenanya, hukuman bagi peminum
khamar juga sama dengan pelaku qazaf, yaitu 80 kali dera. Di samping itu
dengan hukuman dua kali lipat ini ia ingin membuat pelakunya sadar dan
bertobat.
Dalam perkembangan selanjutnya, perbedaan pandangan
sahabat tersebut melahir-kan aliran rasionalis dan aliran literalis dalam
sejarah pembentukan hukum Islam.
Aliran rasionalis memandang bahwa ketentuan nas yang bersifat
ta’abbudi sedikit
sekali dan ijtihad dengan metode qiyas atau
istihsan harus dikembangkan.
Sedangkan aliran tekstualis memandang, bahwa pada dasarnya nas-nas tersebut
bersifat
ta’abbudi, kecuali ada petunjuk yang menyatakan lain. Misalnya,
ahlul ra’yu berpendapat bahwa membasuh bejana yang dijilati anjing sebanyak
tujuh kali, sekali di antaranya dengan tanah sebagaimana yang dijelaskan dalam
hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, adalah
ma’qul al-ma’na. Sebab
menurut mereka, illat (alasan) pembasuhan tersebut adalah karena najis dalam
mulut anjing, dengan tujuan agar najisnya hilang dari bejana. Jika dengan
selain tanah dan disiram tidak sampai tujuh kali sudah membersihkan bejana,
maka sudah mencukupi. Pembasuhan dengan air dan tanah bukanlah satu-satunya
alternatif.
Sedangkan al-Zuhri, imam Malik, imam Syafi’i dan Daud
al-Zahiri berpendapat, bahwa masalah ini adalah
ta’abbudi dan tidak
dapat diijtihadkan. Karenanya pembasuhan bejana itu harus tetap 7 kali dan
sekali di antaranya dengan tanah, serta tidak dapat diganti dengan yang lain.
Sebaliknya, masalah muamalah merupakan objek
ta’aqquli yang paling
dominan. Dalam kaitan ini ketentuan dalam nas meskipun tegas masih dapat
diijtihadkan. Seperti sebagian besar ulama berpendapat, kesaksian 2 orang
laki-laki atau
seorang laki-laki dan 2
orang perempuan dalam transaksi bisnis sebagaimana dijelaskan dalam QS
al-Baqarah: 282, bukanlah hal yang mutlak. Dalam hal ini yang ditekankan adalah
tercapainya kebenaran dan ditegakkannya bisnis secara baik dan jujur serta
terhindar dari tipu daya.
Dari pembahasan di atas dapat dikemukakan, bahwa
objek ta’abbudi adalah ibadah mahdah, sedangkan objek ta’aqquli
adalah muamalah dan ibadah gairu mahdah, yaitu ibadah yang dilakukan
di samping merupakan alat komunikasi dengan Tuhan juga secara langsung merupakan alat komunikasi sosial dengan
sesama manusia. Ketika seseorang membayar zakat, sedekah, infak, maka ia telah
melakukan komunikasi dengan Tuhan (ibadah), serta sekaligus menjalin hubungan
harmonis melalui pemberian bantuan kepada sesama manusia (ibadah sosial).
Walaupun dalam ibadah mahdah tidak dapat
diketahui illatnya secara pasti namun dalam tataran tertentu minimal bisa
ditelusuri makna filosofisnya, misalnya ketentuan membasuh bejana yang dijilati
anjing sebanyak 7 kali dan salah satu di antaranya dengan tanah. Ijtihad dalam
hal ini bukan untuk merubah ketentuan hukumnya namun justru untuk lebih
menguatkan keyakinan dalam mentaati ketentuan hukum yang ta’abbudi itu.
Uraian lebih lanjut akan dikemukakan dalam pembahasan selanjutnya.
Implikasi Ta’abbudi dan Ta’aqquli terhadap Perkembangan
Hukum Islam
Untuk kemaslahatan dunia, syariat dibangun di atas
dua hal,
pertama kewajiban manusia bersyukur atas nikmat yang diberikan
Allah dan
kedua, peluang untuk merasakan kelezatan dari segala nikmat
itu.
Baginya, bersyukur atas nikmat Allah berarti memanfaatkan segala nikmat Allah
sesuai keredaan-Nya selaku sumber nikmat. Kesyukuran atas nikmat itu adalah hak
Allah atas manusia, sedangkan hak manusia dari kesyukurannya ialah kehidupan
sejahtera dan makmur di dunia, pahala di akherat dan kebebasan dari siksaan
neraka.
Posisi eksistensi manusia di antara kewajiban
bersyukur dengan hak memperoleh kehidupan yang layak dan sejahtera di dunia,
menuntut manusia menunaikan hukum-hukum syariat dalam dua bentuk: ta’abbudat
(kepatuhan beribadah kepada Tuhan), dan ta’aqqulat (perbuatan
muamalah yang sifatnya rasional).
Ibadat, karena bersifat
ta’abbud murni, yang
makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar, maka
manusia harus menerima apa saja yang telah ditetapkan syariat. Pelaksanaan
ibadat yang berbeda dari tata cara yang ditentukan oleh syariat bukan ibadat
lagi.
Batasan-batasan syariat menyangkut
taharah dan salat misalnya, mutlak
ditaati tanpa lebih dahulu memikirkan mengapa caranya demikian dan mengapa
diperintahkan. Akal tidak perlu mempertanyakan mengapa tayammum yang menurut
pandangan mata tidak mengandung arti kebersihan, dapat menjadi pengganti wudu
dan mandi untuk bersuci. Hal yang dapat dipahami dari soal ibadat hanyalah
kepatuhan pada perintah Allah, merendahkan diri kepada-Nya dan
mengagungkan-Nya. Kepatuhan itulah yang menjadi illat (
cause) bagi
diperintahkannya suatu ibadat, tidak lebih dan tudak kurang dari itu.
Walaupun memang di balik kepatuhan kepada Tuhan itu terdapat kemaslahatan bagi
manusia juga.
Berbeda halnya muamalah yang disebut al-Syatibi
sebagai kebiasaan universal (
‘adat) yang maknanya dapat dipahami oleh
nalar, maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar. Illat dari
muamalah dapat dirasionalkan dengan melihat ada atau tidak ada maslahat di
dalamnya bagi kehidupan manusia. Karena itu sesuatu dilarang jika tidak terdapat
maslahat di dalamnya dan dibolehkan bahkan diperintahkan jika di dalamnya
terdapat maslahat. Misalnya transaksi uang dengan uang yang sejenisnya, dalam
arti jual beli, dilarang dalam hukum Islam sebab memang tidak ada manfaat yang
dapat diperoleh. Tetapi jika transaksi itu dilaksanakan dalam urusan utang
piutang, maka syariat membolehkan dan memerintahkannya sebab di dalamnya
terdapat manfaat bagi muamalah manusia.
Kasus-kasus lain dalam muamalah yang maknanya dapat dirasionalkan disebutkan
oleh syariat dalam beberapa dalil:
Al-Baqarah: 188, al-Maidah: 91; hadis
naha ‘an
bay’i al-garar dan hadis
kullu muskirin khamrun wa kullu khamrin haramun,
nash-nash tersebut menunjukkan secara jelas bahwa dalam soal adat
(muamalah), syariat tetap mempertimbangkan ada tidaknya maslahat yang dikandung
perbuatan yang dapat ditangkap oleh nalar.
Keterangan di atas menunjukkan perbedaan yang tajam
dan jelas antara soal ibadat dan muamalah. Makna yang terkandung dalam semua
ibadat, terutama ibadah
mahdah, tidak dapat diketahui kecuali dengan
informasi wahyu, yang harus diterima dan dilaksanakan oleh manusia dengan penuh
kepatuhan. Sedangkan makna yang terkandung dalam muamalah dapat diketahui oleh
akal, bahkan menurut al-Syatibi, sebelum datang syariat, akal sudah dapat
mengetahui kemaslahatan yang terkandung dalam berbagai bentuk dan jenis
muamalah.
Dengan demikian, fungsi syariat dalam soal ibadat
berbeda dengan fungsi syariat dalam soal muamalah. Dalam soal ibadat, fungsi
syari’at sebagai
mubtadi’ (pembentuk) dan
munsyi’ (pencipta)
hukum.
Sedangkan dalam soal muamalah yang maknanya sudah dapat diketahui oleh akal,
syariat hanya berfungsi sebagai
mutammimah (penyempurna).
Fungsi syariat sebagai
mubtadi’ dan
munsyi’ dalam soal ibadat
disebabkan, karena akal manusia tidak memiliki kewenangan menentukan
bentuk-bentuk ibadah. Karena itu, sebelum datangnya syariat Islam, pada mulanya
orang hanya dibolehkan berpegang pada bentuk-bentuk ibadat yang terdapat dalam
syariat sebelumnya. Nanti setelah datang syariat Islam, barulah tata cara peribadatan
mengacu kepada ketentuan syariat Islam yang disampaikan lewat Al-Qur’an dan
sunnah.
Perbedaan antara fungsi syariat sebagai
mutammimah
dalam soal muamalah dan sebagai
munsyi’ dalam soal ibadat tampak
juga dalam metode perintah syariat itu sendiri. Menurut al-Syatibi, pada
umumnya perintah menyangkut muamalah yang keuntungannya dapat dirasakan
langsung oleh manusia, tidak menggunakan istilah wajib. Hal ini disebabkan
adanya tabiat pada diri manusia yang mendorongnya secara alami unuk memperoleh
kebutuhannya, sehingga dengan sendirinya manusia merasa perlu melaksanakan
perintah itu meskipun tidak ditegaskan sebagai kewajiban. Tabiat yang mendorong
manusia itu adalah berdasar pada pengetahuan manusia mengenai kemaslahatan yang
dapat diraihnya dari suatu muamalah. Misanya soal keluarga dan perkawinan,
perumahan, sandang, jual beli dan sewa menyewa, telah diketahui kegunaannya
oleh manusia, sebelum datang perintah syariat.
Meskipun demikian, pada dasarnya seluruh yang menyangkut kemaslaahatan manusia
adalah wajib
secara universal (
kulli).
Lain halnya dengan soal ibadat, yang manfaatnya tidak
langsung dapat diketahui atau dirasakan oleh manusia umumnya dan menurut
tabiatnya, manusia tidak merasa berhajat pula untuk melakukannya, maka perintah
syariat biasanya dikukuhkan dalam bentuk wajib, dan larangan dikukuhkan dalam
bentuk haram. Ibadat salat misalnya, diperintahkan dengan metode seperti ini,
karena manusia merasa tidak memperoleh keuntungan langsung dari melakukan salat.
Salat dilakukan semata-mata karena kepatuhan kepada perintah syariat (
ta’abbud
murni kepada Tuhan).
Dengan kata lain, tanpa perintah
yang
tegas dan keras, orang akan enggan melakukan salat. Karena itulah dalam
menjelaskan kewajiban salat lima waktu Al-Qur’an dan sunnah berbagai ungkapan
(perintah maupun ancaman bagi yang melalaikan salat serta kebahagiaan bagi
mendirikan salat secara konsisten).
Fungsi syariat sebagai
mutammimah dalam soal muamalah
di samping berfungsi merinci kemaslahatan yang telah diketahui manusia, juga
sekaligus memberi nilai
ta’abbud pada muamalah itu sehingga setiap
muamalah tidak bersifat duniawi semata, walaupun nilai
ta’aqqul padanya
tetap domnan. Nilai
ta’abbud yang terdapat dalam muamalah, walaupun
hanya sedikit dan tidak dominan, harus dipatuhi oleh manusia, sebagaimana
mereka mematuhi
ta’abbud yang ada sepenuhnya dalam ibadat.
Dalam hal ini syariat bermaksud mewujudkan kemaslahatan pada sebagian sisi
muamalah yang terkadang tidak dipahami oleh manusia. Karena itu akal harus
membenarkan dan menerimanya dengan senang hati walaupun tidak dapat
dipahaminya. Misalnya, kasus pembunuhan yang di dalamnya terdapat hak hamba
(keluarga korban) untuk menaafkan pembunuh, sehingga hukum
qisas tidak
diberlakukan. Tetapi pembunuhan secara sadis dan kejam tidak berlaku maaf
padanya, hukum
qisas tetap berlaku baginya meskipun sudah dimaafkan
keluarga korban.
Demikian pula walaupun iddah adalah merupakan
hak mantan suami, namun selaku pemegang hak tersebut, suami tidak dapat
menggugurkan haknya dan mengalihkannya
kepada lelaki lain untuk menikahi mantan isterinya dalam masa iddah. Hak
tersebut adalah bersifat ta’abbudi yang mengandung masalahat yang belum
diketahui akal sepenuhnya. Unsur ta’abbudi yang diberikan syariat
sebagai penyempurna (mutammimah) agar perbuatan mumalah tersebut turut
bernilai ibadah kepada Allah dan karenanya pula manusia akan memperoleh pahala
dari setiap muamalah yang dilakukannya. Karena itu pula seandainya ‘hamil
tidaknya seorang wanita yang diceraikan suaminya’ telah dapat dideteksi melalui
teknologi kedokteran secara cepat, namun ketentuan iddah tidak dapat
dihilangkan sebab ada hikmah-hikmah lain yang belum diketahui akal manusia secara
pasti, di samping hikmah telah diketahui selama ini.
Dalam penerapan konsep
ta’abbdi dan
ta’aqquli
tersebut, perbuatan manusia terbagi dalam tiga macam.
Pertama, perbuatan yang di dalamnya hanya terdapat hak Allah saja, yang
dengan sendirinya bersifat
ta’abbud murni, yaitu semua ibadat.
Kedua,
perbuatan yang di dalamnya terdapat hak Allah dan hak hamba bersama-sama,
tetapi bobot hak Allah lebih besar. Misalnya soal pemeliharaan jiwa, walaupun
kelestarian hidup manusia merupakan hak asasi manusia, hak tersebut berada di
tangan Allah. Karena itulah dilarang membunuh orang lain dan bunuh diri atau meminta
bantuan tenaga medis (dokter) mengakhiri hidupnya sendiri yang dalam dunia
kedokteraan modern dikenal dengan
euthanasia.
Ketiga, perbuatan yang di dalamnya terdapat hak hamba dan hak Allah,
tetapi bobot hak hamba lebih besar. Dalam hal ini akal sangat besar peranannya
untuk memahami arti kemaslahatan yang dikandungnya, misalnya kemaslahatan yang
terkandung dalam perdagangan.
Bertolak dari uraian di atas maka keharusan membasuh
bejana
yang dijilati anjing sebanyak
tujuh kali dan salah satu di antaranya dengan tanah pada hakekatnya memiliki
nilai kemaslahatan bagi manusia. Menurut hasil penelitian seorang orientalist,
suatu wadah yang dikenai air liur anjing ternyata mengandung kuman penyakit
(rabies) yang anehnya hanya bisa dihilangkan jika dicuci dengan tanah.
Kesimpulan itu didasarkan pada eksperimennya dengan meletakkan dua wadah yang
dijilati anjing, di bawah mikroskop, yang masing-masing dicuci sebanyak tujuh
kali namun salah satunya dicuci dengan deterjen dan yang satunya dicuci air
dicampur dengan tanah. Ternyata wadah bekas jilatan anjing yang dicuci dengan deterjen
masih tampak kuman penyakit, sedangkan wadah yang dicuci dengan air campur
tanah kelihatan bersih (dalam pengamatan di bawah miroskop).
Dalam konteks ini pula jumlah bacaan zikir
ba’da
salat lima waktu berupa tasbih, tahmid dan takbir yang masing-masing diulang 33
kali bukanlah angka-angka tanpa makna secara filosofis. Secara matematis angka-angka
3 jika dikuadratkan akan menghasilkan sederetan angka-angka yang selalu diawali
dengan angka 1 dan diakhiri angka 9 (misalnya 33
2 = 1089;
333
2 = 110889; 3333
2 =
11108889; 33333
2 = 1111088889, dst). Angka 1 dapat dipandang sebagai
simbol Zat Allah Yang Maha Esa, sekaligus sumber dari segala sesuatu (
huwal
awwalu wa al-akhir), sedangkan angka 9 merupakan simbol dari
asma’
al-husna. Tegasnya, membaca tasbih, hamdalah, takbir sebanyak 33 kali
memiliki makna spiritual
Namun hal
ini
bukan alasan utama Nabi saw
mengajarkan para sahabat golongan fakir untuk membaca zikir sebanyak 33 kali
itu. Akan tetapi pemahaman ini setidaknya sebagai
bentuk fungsionalisasi akal manusia dalam
memaknai hukum syariat. Dalam kaitan ini sangatlah beralasan, bahwa dalam hal
berkenaan dengan ibadah, perintah Tuhan harus dilaksanakan apa adanya tanpa
menambah dan menguranginya. Hal ini karena Tuhan lebih tahu pasti apa yang Dia
inginkan dari dan untuk kita.
Dalam hal ini pula konsep
ta’abbudi dapat dipandang sebagai
divine
law (hukum
Tuhan)
secara mutlak.
Sebaliknya dalam urusan muamalah, walaupun memuat
nilai
ta’abbudi akan tetapi dalam penerapannya dapat mengalami perubahan
sesuai dengan prinsip kemaslahatan manusia. Misalnya riba itu haram namun dalam
penerapannya dapat mengalami perubahan. Hal ini dapat dijelaskan dengan
menggunakan “teori batas (
nazariyyah al-hudud)” dari Muhammad Syahrur,
yaitu “posisi batas maksimum positif yang tidak boleh dilewati dan batas bawah
negatif yang boleh dilewati.” Dua batas tersebut terdiri dari batas maksimal
yang tidak boleh dilanggar, yaitu riba, dan batas minimal berupa zakat yang
dapat dilampaui. Bentuk melampaui batas minimal di sini berupa sedekah.
Mengingat dua batas ini berupa satu garis di daerah positif pada posisi netral
yang dilambangkan dengan nol. Pada tataran aplikasi, batas maksimal positif
berupa riba, batas netral berupa pinjaman tanpa bunga dan batas minimal negatif
berupa zakat dan sedekah.
Dengan demikian pinjaman dengan bunga kepada orang
miskin adalah riba karena mereka berhak memperoleh zakat atau sedekah.
Sedangkan para konglomerat, pinjaman bagi mereka boleh dikenakan bunga pinjaman
maksimal sebesar modal pinjamannya.
Mode pakaian sebagai bagian dari muamalah bukanlah
bagian dari ta’abbudi yang harus ditaati, karena di sini unsur ta’aqquli
yang lebih dominan. Misalnya, hadis yang menganggap pakaian di bawah mata
kaki, sebagai tindakan dosa. Dalam hal ini secara rasio dan hakekat hukum
Islam, bukan panjangnya pakaian yang dikenakan seseorang yang menyebabkan dia
masuk neraka, akan tetapi lebih disebabkan oleh “kesombong-an”nya saat
mengenakan pakaian tersebut.
Sebaliknya, manusia dapat berijtihad dalam kaitannya
dengan hal-hal yang menjadi “alat” dalam pelaksanaan ibadat, misalnya pakaian
untuk penutup aurat saat salat. Dalam hal ini salat bersifat
ta’abbudi sedangkan
pakaian untuk salat bersifat
ta’aqquli. Ketentuan salat bersifat
absolut, sedangkan pakaian yang dikenakan saat salat tetapi bersifat relatif,
dapat berubah mengikuti irama perubahan sosial.
Tata cara salat, tawaf, jumlah rakaat salat dan penentuan waktu salat, puasa
Ramadan, haji bersifat permanen, tidak bisa diubah
Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa
aturan-aturan hukum yang murni bersifat
ta’abbudi tidak bisa diubah
dengan berdasarkan rasio, namun memahami rahasia dan hikmah di balik suatu
ta’abbudi
tidaklah berarti merubah ketentuan
ta’abbudi tersebut. Begitu pula
memperluas objek suatu ibadah
mahdah - yang bersifat
ta’abbudi -
sangat dimungkinkan dan hal ini berimplikasi terhadap perkembangan hukum Islam.
Zakat sebagai salah satu ibadah adalah bersifat
ta’abbudi, namun objek
zakat dalam konteks kehidupan sekarang bisa diperluas, seperti zakat profesi
atau jasa, dan zakat barang mewah. Ibadah zakat walaupun tergolong ibadah
mahdah
namun mempunyai nilai kemaslahatan bagi manusia (fungsi sosial), sehingga
perluasan obyek zakat bisa menggunakan pendekatan
ta’aqquli. Dalam
konteks ini ibadah zakat merupakan
ta’abbudi yang memiliki unsur
ta’aqquli.
Karena suatu jenis ibadah dapat dianggap (memiliki)
ta’aqquli jika
intervensi nalar amat dimungkinkan, dan dalam perkembangannya terjadi
perubahan, atau ada pemahaman yang dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran
aplikasi, seperti tempat salat
Id, jumlah rakaat tarawih, azan jumat,
kalimat penutup khutbah, bahan zakat fitrah, jenis harta yang wajib dizakati,
status
asnaf (kelompok penerima zakat) dan sebagainya.
Aturan-aturan hukum keluarga yang pada satu sisi
mengandung unsur ta’aqquli namun di sisi lain tetap memiliki unsur ta’abbudi,
seperti pernikahan dan cerai serta iddah. Walaupun seseorang wanita yang
diceraikan telah dipastikan tidak hamil berdasarkan teknologi kedokteran, namun
ia tetap harus menjalani masa iddah. Karena meskipun salah satu hikmah
(alasan rasional atau ta’aqquli) keharusan menjalani masa iddah,
adalah untuk memastikan hamil tidaknya seseorang wanita yang dicerai, namun iddah
juga mengandung unsur ta’abbudi sebab masih ada rahasia-rahasia lain
di balik keharusan menjalani iddah tersebut yang belum diketahui akal
manusia.
Demikian juga dengan kemajuan teknologi kedokteran
dewasa ini, seorang isteri yang gagal hamil secara alami dapat dibantu dengan
teknologi bayi tabung. Namun harus tetap mempertimbangkan sumber sperma dan
ovum karena berkaitan dengan kesakralan rahim (ta’abbudi). Karena itu
teknologi bayi tabung tersebut harus tetap menggunakan sperma dan ovum dari
suami isteri sendiri serta embrionya ditransfer ke dalam rahim isteri sendiri
(pemilik ovum), dan tidak boleh menggunakan donor baik sperma atau ovum maupun
sperma dan ovum, juga tidak boleh menggunakan rahil rental. Ini berarti, bahwa
penggunaan teknologi kedokteran yang tergolong dalam masalah ta’aqquli harus
tetap memperhatikan unsur ta’abbudi dalam pemeliharaan keturunan (hifz
al-nasl).
Dalam masalah kebiasaan membaca Barzanji jika
dilakukan sebagai usaha untuk mengambil pelajaran dari sejarah kehidupan Nabi
Muhammad saw, maka hal itu merupakan ta’aqquli sehingga bisa
dikategorikan sebagai suatu bid’ah hasanah. Namun jika kebiasaan
tersebut dilakukan untuk menolak bahaya, maka sudah masuk dalam wilayah keyakinan,
sehingga menjadi ta’abbudi dan karenanya tergolong bid’ah dalalah.
Penutup
Ta’abbudi adalah segala ketentuan hukum Islam
atau ketentuan nas (al-Qur’an dan hadis) dalam bidang ibadah yang harus
diterima dan ditaati sebagai wujud penghambaan dan kepatuhan kepada Allah
semata, walaupun tanpa mengetahui alasan dan tujuan secara rasionalnya. Sedangkan
ta’aqquli adalah segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas
(al-Qur’an dan hadis) yang diterima dan ditaati oleh seorang hamba karena ada
maslahatnya bagi manusia berdasarkan nalar rasio manusia. Ta’abbudi
adalah ketaatan mutlak, bersifat non rasional, namun memiliki nilai ta’aqquli
(kemaslahatan bagi manusia, baik yang telah maupun belum diketahui).
Sedangkan ta’aqquli adalah ketaatan terhadap aturan bersifat rasional
dan mengandung maslahat yang umumnya telah diketahui manusia, namun demikian
mengandung unsur ta’abbudi.
Obyek ta’abbudi
adalah ibadah mahdah, ketentuan-ketentuan yang bersifat daruriyyat,
dan qat’i yang berkaitan dengan ibadah, serta ketentuan akhlak yang
bersifat permanen, sedangkan objek ta’aqquli, adalah masalah
muamalah, termasuk juga nas-nas zanni yang tidak berkaitan dengan
ibadah.
Konsep ta’abbudi
dan ta’aqquli mempunyai implikasi terhadap perkembangan hukum Islam.
Meskipun konsep ta’abbudi bersifat statis, sehingga tidak terbuka pintu
ijtihad untuk merubah tata cara ibadah, waktu dan tempat pelaksanaan ibadah mahdah
tertentu, namun dari sisi perkembangan hukum Islam masih bisa dilakukan perluasan
pada “alat” dari suatu ta’abbudi, serta objek suatu ibadah mahdah.
Sedangkan dalam ta’aqquli sangat berpeluang mengalami perluasan melalui
ijtihad. Dengan demikian konsep ta’aqquli memberikan kontribusi yang
lebih besar ketimbang konsep ta’abbudi terhadap perkembangan hukum
Islam. Keberadaan konsep ta’abbudi adalah untuk menjaga kemurnian ibadah
dalam Islam, sehingga hukum Islam akan berkembang secara dinamis.
Abdul Wadud Syalabi, Kaifa Ara Allah. Walaupun
hasil penemuan ini bukan alasan sebenarnya disyariatkannya mencuci tempat bekas
jilatan anjing dengan tanah, namun setidaknya akan menjadi alasan rasionalnya, sehingga perintah dalam
mencuci bekas jilatan anjing dengan tanah dalam hadis Nabi saw ini untuk
menghilangkan najis pada air liur anjing atau menghilangkan virus rabies
menurut kedokteran.
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories,
terj. E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid dengan judul Sejarah
Teori Hukum Islam Pengantar Untuk ushul Fiqh Mazhab Sunni (Cet. II;
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 277.
Madjid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, terj.
Kuswanto dengan judul Perang dan Damai dalam Hukum Islam (Yogyakarta:
Tarawang Press, 2002), h. 20.
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah
Mu’ăşirah, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri dengan judul Prinsip
dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer (Cet. II; Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2007), h. 45..
Lihat Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar
Partisipatoris Hingga Emasipatoris (Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2005), h.
189.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar